Komisi X Akan Bentuk Panja Pendidikan Kedokteran

31-05-2016 / KOMISI X

Wakil Ketua Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra memastikan, pihaknya akan membentuk Panitia Kerja (Panja) non RUU, yang akan fokus pada permasalahan pendidikan kedokteran. Pasalnya, selama ini masih ditemukan permasalahan seputar pendidikan kedokteran, terutama dengan adanya dokter layanan primer yang setara dengan dokter spesialis.

 

Hal itu dikemukakannya usai menerima sejumlah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (30/05/2016).

 

“Terkait permasalahan dokter pelayanan primer perlu diluruskan, bahwa ini bukan sesuatu prodi di Perguruan Tinggi atau profesi. Hadirnya dokter pelayanan primer ini, membuat tumping tindih dengan dokter umum. Ini yang membuat PB IDI menolak,” kata Sutan.

 

Menurut politisi F-Gerindra itu, pihaknya juga mendapat aspirasi di beberapa daerah terkait permasalahan lamanya pendidikan kedokteran, serta beratnya uji kompetensi dan akreditasi. Untuk menyelesaikan perkuliahan, setidaknya membutuhkan hingga 11 tahun, padahal kebutuhan dokter sangat tinggi.

 

“Kita akan membentuk Panja Non RUU agar dapat duduk bersama antara IDI, Menkes dan Menristekdikti untuk menyelesaikan permasalahan ini. Dalam pendidikan kedokteran antara Menrisktekdi dan Menkes, perlu kita luruskan. Persoalan karut marut ini menurut Komisi X dan IDI perlu kita luruskan secara cerdas,” kata politisi asal dapil Jambi itu.

 

Sebelumnya Ketua Umum PB IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan pendidikan kedokteran saat ini sangat mahal, baik itu di pendidikan dokter apalagi pendidikan dokter spesialis. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir uang pangkal atau uang gedung bisa mencapai ratusan juta rupiah.

 

“Proses pendidikan kedokteran yang sangat berat dengan kualitas fakultas kedokteran yang masih terakreditasi C, membawa implikasi pada lulusan-lulusan dokter yang kualitasnya berbeda-beda,” jelas Ilham.

 

Ia menambahkan, proses ujian kompetensi dokter, yakni UKDI atau UKMPPD yang kadang juga membutuhkan waktu yang lama untuk dapat lulus, ditambah dengan program internship yang harus dijalankan wajib selama 1 tahun. Apalagi kalau kemudian dilanjutkan dengan pendidikan lagi sebagai dokter layanan primer.

 

“Ketersediaan dokter saat ini di layanan primer sangat dibutuhkan. Saat ini banyak pelayanan kesehatan primer yang tidak ada dokternya dan banyak daerah yang tidak memiliki pelayanan kesehatan atau jauh dari pelayanan kesehatan,” tambahnya.

 

Ia menilai, banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah faktor biaya pendidikan yang sangat mahal dan tidak ada peran negara pada saat pendidikan kedokteran jika memang tenaga dokter dianggap sebagai tenaga strategis oleh negara.

 

Munculnya UU no 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran diharapkan dapat mereduksi problematika problematika pendidikan kedokteran, namun kenyataannya masih memunculkan permasalahan besar yang dapat memicu konflik horizontal di tingkat pelayanan primer.

 

“Munculnya satu kelompok baru, yaitu Dokter Layanan Primer  yang setara dengan dokter spesialis, tetapi bekerja di pelayanan primer bersama dokter umum dan dokter keluarga yang dapat memicu terjadinya tumpang indih pelayanan kesehatan dan akhirnya dapat mengganggu proses peningkaatan mutu pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia,” paparnya.

 

Peluncuran program pendidikan spesialis layanan primer ini menjadikan masa pendidikan dokter menjadi panjang, memakan biaya yang sangat besar dan merupakan pemborosan anggaran pendidikan negara, karena biaya pendidikan ditanggung negara.

 

“Kami PB IDI mendukung penuh usaha Pemerintah untuk perbaikan dokter di layanan primer, namun menolak pendidikan spesialis layanan primer dan meminta Pemerintah untuk merevisi UU No 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran terkait pasal-pasal yang berhubungan dengan pendidikan dokter layanan primer yang tidak relevan dengan beberapa UU sebelumnya,” jelas Ilham. (sf)/foto:runi/iw.

BERITA TERKAIT
Pemangkasan Anggaran BRIN Dikhawatirkan Berdampak ke Riset & Inovasi
05-02-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta – Sumber daya manusia di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), baik periset, peneliti, maupun perekayasa, dinilai masih...
Perubahan PPDB ke SPMB, Adde Rosi: Harus Lebih Adil dan Inklusif
05-02-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI, Adde Rosi Khoerunnisa, menyambut positif kebijakan baru pemerintah terkait penerimaan siswa yang...
Legislator Minta Menteri Kebudayaan Lakukan Revitalisasi Budaya Adat Daerah
04-02-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI, Mercy Chriesty Barends, menyoroti berbagai persoalan di daerah transmigrasi, terutama benturan kepentingan...
Naturalisasi Tiga Pemain Disetujui Rapat Paripurna DPR, Hetifah: Langkah Besar untuk Timnas Indonesia
04-02-2025 / KOMISI X
PARLEMENTARIA, Jakarta - Rapat Paripurna DPR RI menyetujui permohonan pemberian kewarganegaraan kepada Tim Henri Victor Geypens, Dion Wilhelmus Eddy Markx,...