Komisi III Kuatkan Peran Pemasyarakatan dengan Revisi UU Pemasyarakatan
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Erma Suryani Ranik Foto : Andri/mr
Pemasyarakatan di Indonesia sudah berdiri lebih dari setengah abad. Namun, sejumlah permasalahan hingga kini masih sering terjadi yang belakangan menjadi perhatian masyarakat terkait kisruh di beberapa Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Komisi III ingin melakukan penguatan peran pemasyarakatan dalam system peradilan pidana terpadu dengan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Berbagai permasalahan juga terjadi di Balai Pemasyarakatan (Bapas), Rumah Tahanan (Rutan), serta Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). “Sejumlah upaya sebenarnya telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Namun, praktik di lapangan ternyata menunjukkan hal yang berbeda,” ujar Erma Suryani Ranik saat memimpin Focus Group Discussion (FGD) terkait Revisi UU Pemasyarakatan di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, Selasa (18/6/2019).
Erma mencontohkan penanganan diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang menjadi kewenangan Balai Pemasyarakatan (Bapas) belum dapat dilaksanakan dengan optimal karena belum terakomodir dengan UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Ia menggarisbawahi empat poin yang berkaitan dengan Naskah Akademik revisi UU Pemasyarakatan. Pertama, sebagai hukum pelaksanaan pidana. Pada prinsipnya, hukum pidana sebagai pranata sosial dalam masyarakat. Artinya semua dasar-dasar dan aturan-aturan dalam menyelenggarakan ketertiban hukum berpedoman pada hukum pidana materil, hukum pidana formil atau hukum acara, dan hukum pelaksanaan pidana.
Dalam konteks pemasyarakatan, hukum pelaksanaan pidana diterjemahkan sebagai keseluruhan ketentuan atau peraturan yang berisi tentang cara bagaimana melaksanakan putusan hakim terhadap seseorang yang memiliki status sebagai terhukum.
Kedua, pemasyarakatan sebagai sistem tersendiri. Kalau selama ini pemasyarakatan dipahami sebagai subsistem dari peradilan pidana, nantinya, pemasyarakatan akan dibuat sebagai sistem tersendiri. “Belum dapat dipastikan apakah berbentuk sistem yang terintegrasi atau berbentuk holding. Tapi yang jelas, dalam Naskah Akademik revisi UU Pemasyaratakan peran pemasyarakatan akan lebih menonjol dalam sistem peradilan pidana,” tambahnya.
Selanjutnya, yaitu terkait dengan administrasi. Selama ini sejumlah aturan membatasi institusi dalam membuat keputusan. Misalnya terkait pemberian remisi atau pelaksanaan grasi hanya berada pada tataran keputusan yang bersifat administratif dari pelaksanakan pembinaan di Lapas.
“Padahal, terjadi perluasan peran dan tanggung jawab di pemasyarakatan untuk mengelola lembaga-lembaga baru yang menjadi perintah undang-undang seperti peran Bapas untuk pidana korporasi,” jelas politisi fraksi Partai Demokrat itu.
Keputusan-keputusan administratif tersebut membuat kebutuhan bagi Lapas untuk tetap berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Padahal, Pemasyarakatan punya andil mulai dari proses pra ajudikasi, ajudikasi, hingga post ajudikasi. “Tak Cuma Lapas, Bapas, Rupbasan juga akan menonjol perannya lewat revisi UU Pemasyarakatan ini,” tuturnya.
Terakhir yaitu berkaitan dengan pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang juga menjadi concern tim penyusun Naskah Akademik revisi UU Pemasyarakatan. “Jika proses rekrutmen untuk petugas dan pegawai di Ditjen Pas selama ini menggunakan seleksi ASN, harus dicari formula yang tepat untuk menjaring SDM yang mempunyai integritas untuk mengabdi di pemasyarakatan,” tutupnya. (man/es)