RUU Pendidikan Kedokteran Momentum Perbaiki Pelayanan Kesehatan
RUU Tentang Pendidikan Kedokteran menjadi salah satu momentum dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Saat ini RUU tersebut telah menjadi salah satu agenda prolegnas DPR RI tahun 2011. Kalangan DPR berjanji akan menuntaskan RUU ini pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2011-2012. Selain itu mutu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), pelayanan, maupun pemenuhan dokter di daerah terpencil menjadi kata kunci perbaikan mutu pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia kedepannya.
“Penyusunan Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran ini perlu mendapat perhatian, mengingat pendidikan kedokteran sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan yang berkualitas,” ujar Anggota Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian dari Fraksi Partai Golkar saat ditemui tim Parle, di Gedung Nusantara I, Rabu (11/1).
Di sisi lain, lanjutnya, ada banyak hal yang bisa dibenahi melalui Undang-Undang tentang Pendidikan Kedokteran. Salah satunya mengenai pendidikan kedokteran sebagai media pembentukan dokter yang berkarakter. Misalnya, selama ini masih banyak ditemui dokter yang kurang terampil dalam berkomunikasi secara empatik terhadap pasien maupun dokter yang kurang memiliki kerjasama (teamwork) yang baik dengan tenaga medis lainnya, kata Hetifah.
Menurutnya, kekurangan itu dapat diperbaiki dengan pembenahan sistem pendidikan kedokteran yang lebih baik. “Munculnya RUU inisiatif ini didorong oleh adanya fenomena mencemaskan masyarakat terkait dengan mahalnya pendidikan kedokteran. Hal itu menyebabkan terbatasnya akses masyarakat miskin yang mempunyai kemampuan akademik untuk menjadi dokter,” ujarnya.
Hetifah membenarkan, memang banyak masalahnya, mulai dari sedikitnya dokter, apalagi dokter spesialis di daerah atau pedalaman khususnya daerah yang tidak memiliki fakultas kedokteran, kurangnya rumah sakit pendidikan, serta rendahnya mutu lulusan yang dihasilkan sebagian perguruan tinggi terutama swasta hingga belum adanya pengaturan tentang pendidikan kedokteran spesialis.
“Jadi pendidikan kedokteran akan diatur dalam sebuah perundang-undangan, saat ini Komisi X DPR tengah menyusun undang-undang tersebut dan telah melakukan proses konsultasi dengan berbagai stakeholders terkait dengan undang-undang dimaksud,” jelasnya.
Dia menambahkan, ada beberapa issue kritis yang akan diatur dalam undang-undang tersebut. Beberapa diantaranya, adalah kebijakan pendidikan kedokteran dan dokter spesialis, rumah sakit pendidikan, proses seleksi mahasiswa yang diharapkan bisa lebih berhati-hati dan dilengkapi tes psikometri, kuota bagi siswa daerah yang membutuhkan, serta pentingnya menempatkan kesetaraan gender dan kesempatan bagi mereka yang berpendapatan rendah.
Selanjutnya, undang-undang ini juga akan mengatur soal pendanaan APBN maupun APBD untuk fakultas kedokteran, baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Begitu juga dengan hal-hal terkait kurikulum, dosen, dan pendidikan klinis, penghitungan unit cost untuk menetapkan subsidi, beasiswa dan SPP akan diatur pula dalam undang-undang tersebut, ujar Hetifah.
Terkait dengan liberalisasi dan mahalnya biaya pendidikan kedokteran, Hetifah mengatakan, tiap perguruan tinggi dapat membuka fakultas kedokteran selama yang bersangkutan peminatnya banyak. Dia melanjutkan, peminat umumnya berasal dari kelompok masyarakat menengah ke atas.
Di Indonesia, jelasnya, saat ini untuk menjadi dokter memang diperlukan biaya yang tidak sedikit. Sekitar Rp 200 - Rp400 juta untuk biaya masuk dan kira-kira Rp 70 juta-an/semester. Perhatian pemerintah yang belum maksimal, kata Hetifah, praktis membuat biaya pendidikan untuk menjadi seorang dokter tetap selangit. “Hal ini jelas membatasi peluang masyarakat golongan menengah ke bawah atau miskin untuk menyekolahkan anaknya menjadi dokter,” tegasnya.
Biaya mahal ternyata tidak menjamin kualitas dokter di Indonesia memenuhi standar tinggi. Karena dengan biaya semahal itu, jelas Hetifah, standar pendidikan kedokteran di Indonesia masih tetap di bawah standar internasional. “Dokter kita belum bisa langsung berpraktek di Rumah Sakit Internasional, karena tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan,” tuturnya.
Atas dasar pemikiran itulah, Hetifah Sjaifudian berpandangan bahwa negara sudah semertinya mengambil alih untuk menjamin kualitas dokter di Indonesia. “Bahkan, negara harus dapat mengatur pendidikan kedokteran ini gratis, supaya semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama,” paparnya.
Kedepan, lanjut Hetifah, pendidikan kedokteran akan bersifat kedinasan. Ini untuk menjamin keterpenuhan daerah akan tenaga kesehatan, terutama dokter. “Selama ini dokter-dokter kita sering keberatan jika bertugas di daerah. Dengan pendidikan ikatan dinas, dokter-dokter itu di tuntut untuk mengabdi dimanapun ditugaskan sesuai dengan kebutuhan,” tegasnya.
Dia menambahkan, untuk menjamin lulusan yang pendidikan kedokteran yang berkualitas dan memiliki dedikasi tersebut, calon mahasiswa kedokteran akan diseleksi secara khusus. “Dan dalam prosesnya tidak boleh ada diskriminasi dalam bentuk apapun,” himbuhnya.
Hetifah Sjaifudian berharap, dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran ini anak-anak miskin juga bisa menjadi dokter, dan mereka yang berada di daerah terpencil, perbatasan atau pedalaman bisa dilayani dokter yang bermutu. “Intinya dalam RUU tentang Pendidikan Kedokteran ini ada suatu payung hukum yang bisa mengatur bagaimana supaya pendidikan kedokteran ini bisa lebih terbuka dan bisa di akses oleh siapa pun. Dan kita ingin siswa-siswa yang dihasilkan adalah siswa-siswa yang berkualitas agar dapat bersaing dengan kualitas dari dokter-dokter asing yang berpraktek di rumah sakit internasional yang ada di Indonesia,” imbuhnya.(iw)/foto:iw/parle.