UU Pendidikan Kedokteran Angin Segar Untuk Siswa Cerdas Kurang Mampu
Undang-Undang Pendidikan Kedokteran yang sekarang sedang dibahas Komisi X DPR RI akan membawa angin segar bagi siswa-siswa yang cerdas namun kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Kedokteran.
Dalam Undang-Undang ini nantinya akan mengatur pemberian bea siswa yang berupa ikatan dinas atau bersyarat bagi siswa-siswa berprestasi yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Fakultas Kedokteran atau dari pihak lain.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR Utut Adianto saat mempimpin kunjungan kerja ke Provinsi Jawa Timur, Rabu (21/3).
Kunjungan Komisi X DPR kali ini dalam rangka uji publik dengan akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan praktisi-praktisi Kedokteran di wilayah Jawa Timur.
Utut mengatakan, selain ke Provinsi Jawa Timur, uji publik ini juga dilakukan kebeberapa daerah lainnya yakni Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Sumatera Selatan. Hasil dari uji publik ini, kata Utut, akan dibuat matrik secara keseluruhan untuk lebih menyempurnakan RUU dimaksud.
Rencananya, tambah Utut, RUU ini akan dibawa pada Sidang Paripurna DPR pada 5 April 2012 untuk Pengambilan Keputusan Tingkat II.
Utut mengatakan, RUU Pendidikan Kedokteran ini terdiri dari 9 Bab 71 Pasal. 51 Pasal (72%) dari RUU ini mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan kedokteran yaitu mulai Pasal 5 sampai dengan Pasal 55.
Tujuan dibuatnya RUU ini menurut Utut adalah untuk menghasilkan lulusan yang bermartabat, bermutu, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan pasien dan kebutuhan masyarakat serta mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial.
Selain itu, juga untuk memenuhi kebutuhan dokter, dokter spesialis, dokter subspesialis dan dokter gigi, dokter gigi spesialis, dokter gigi subspesialis di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Utut menambahkan, berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sistem pendidikan nasional belum mengatur secara spesifik dan komprehensif mengenai penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Untuk itulah, diperlukan suatu undang-undang yang secara khusus dan komprehensif mengatur tentang pendidikan kedokteran.
Lebih jauh Utut mengatakan, RUU Pendidikan Kedokteran ini juga memberi kesempatan kepada calon mahasiswa daerah untuk memenuhi kebutuhan dokter di daerahnya.
Intinya, kata Utut, RUU ini menjamin adanya kesempatan bagi calon dari daerah sesuai dengan kebutuhan daerahnya, kesetaraan gender dan masyarakat berpenghasilan rendah.
RUU ini juga membuka adanya jalur khusus yang ditujukan untuk menjamin penyebaran lulusan yang merata di seluruh wilayah NKRI.
Selain hal tersebut, RUU ini juga mengatur tentang dana pendidikan kedokteran untuk pengembangan pendidikan kedokteran. Pendanaan dalam RUU ini menjadi tanggungjawab Pemerintah, Pemda, Fakultas, Rumah Sakit Pendidikan (RSP) dan peran serta masyarakat. Dana dari Pemerintah dan Pemda ini berasal dari APBN dan APBD.
Sementara dana dari Fakultas/RSP dari kerja sama pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sedang pendanaan dari masyarakat bisa dari hibah, zakat, wakaf dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam kesempatan tersebut akademisi Universitas Airlangga menyampaikan, pihaknya sangat mengapresiasi Komisi X DPR yang concern membahas kembali RUU Pendidikan Kedokteran. Karena pada DPR periode yang lalu RUU ini sudah pernah dibahas, namun akhirnya belum dapat dapat diselesaikan.
Ketua IDI Jatim Pranawa mengatakan, pada prinsipnya, RUU ini telah cukup mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan kedokteran, mulai dari pembiayaan sampai jenjang-jenjang pendidikan kedokteran.
Bahkan, katanya, RUU ini juga mengatur sampai pada sub spesialis. Hanya saja, pengaturan dokter sub spesialis ini membutuhkan biaya yang sangat tinggi.
Direktur Rumah Sakit Dr. Sutomo mengkritisi Pasal 28 ayat (2) huruf c yang mengatakan standar kontrak kerja sama antara Rumah Sakit Pendidikan dengan mahasiswa kedokteran program pendidikan akademik. Seharusnya kontrak kerja sama ini dengan institusi bukan dengan mahasiswa kedokteran.
Hal lain yang dikritisi adalah Pasal 46 yang menurutnya Pasal tersebut bersifat teknis dan sebaiknya hal-hal yang sifatnya teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). (tt) foto:tt/parle