RUU Pendidikan Kedokteran Syaratkan Lulus Psikometri
RUU Pendidikan Kedokteran dalam satu satu pasalnya mensyaratkan calon mahasiswa kedokteran harus lulus seleksi penerimaa, uji kognitif, tes bakat dan tes kepribadian.
Persyaratan ini dianggap penting karena Profesi Kedokteran berbeda dengan profesi-profesi lainnya dan dokter punya profesi yang strategis sehingga membutuhkan kehati-hatian serta diperlukan calon-calon dokter yang memiliki empati tinggi.
Demikian disampaikan Anggota Komisi X DPR Dedi Suwandi Gumelar saat pertemuan dengan akademisi Universitas Airlangga dan praktisi-praktisi Kedokteran Provinsi Jawa Timur, Rabu (21/3).
Menurut Dedi, kita tidak boleh hanya berpikir bahwa dokter adalah profesi, yang paling tinggi dari profesionalitas adalah tanggung jawab sosial. Disinilah dituntut calon-calon dokter yang memiliki moralitas yang tinggi dalam melaksanakan kegiatan kemanusiaan.
Profesi Kedokteran, kata Dedi, sangat berbeda dengan seorang insinyur atau seorang ekonom, dimana kegiatannya sangat erat hubungannya dengan nyawa manusia.
Untuk itu, dalam konteks UU Pendidikan Kedokteran mulai dari rekrutmen mahasiswanya harus betul-betul terpilih. Disinilah perlunya memasukkan dalam salah satu pasal persyaratan calon mahasiswa kedokteran yang harus lulus seleksi psikometri.
Dedi memprihatinkan, banyak lulusan dokter-dokter sekarang yang kurang memiliki empati. Dokter-dokter tersebut setelah lulus banyak yang tidak mau ditempatkan di desa-desa di kepulauan kecil maupun daerah perbatasan. Sehingga, katanya, yang beroperasi di sana dokter-dokter dari Malaysia
“ini tentunya sangat membahayakan dalam konteks perspektif geo politik, karena ini terkait dengan persoalan NKRI,” katanya.
Dokter-dokter tersebut lebih menyukai praktek di kota-kota besar sehingga terjadi ketimpangan antara kota-kota besar dengan daerah-daerah kecil. Menurut Dedi, Dokter-dokter sekarang banyak yang kurang memiliki empati. Bahkan yang lebih memprihatinkan setelah lulus pendidikan kedokteran ada yang menjadi agen obat atau masuk ke bidang lain yang tidak ada kaitannya dengan ilmu kedokteran.
Sebuah harian nasional terkemuka menyebutkan, empati dan rasa kemanusiaan mahasiswa tahun pertama dan keempat Fakultas Kedokteran UI rendah. Itu hasil tes psikometri mengetahui kesesuaian kepribadian mahasiswa dengan karakteristik profesi dokter.
Bahkan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia Ratna Sitompul mengatakan, program empati dan kemanusiaan perlu diformalkan dalam pendidikan kedokteran sehingga dokter yang dihasilkan tak hanya pintar, tetapi juga bisa melayani dengan hati.
Ratna yang juga Dekan Fakultas Kedokteran UI ini mengatakan, ini sebetulnya bukan salah mahasiswa, sebelum jadi mahasiswa kedokteran, mereka hidup di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Jika lingkungan sekitar tidak mengajarkan dan melatih jiwa sosial dan kemanusiaan, bagaimana mereka memiliki perasaan itu.
Untuk mengatasi hal itu, FKUI telah mengembangkan program Empati, Komunikasi, dan Bioetika untuk Pengembangan Pribadi dan Profesi Kedokteran dalam Konteks Humaniora. Salah satu cara, mewajibkan mahasiswa tahun pertama hingga ketiga menjadi relawan di RS Cipto Mangunkusomo.
Mereka wajib mendampingi pasien baru dari luar Jakarta, mulai menunjukkan unit-unit perawatan di RS hingga membantu mengurus administrasi pasien miskin. Mereka juga ikut kunjungan ke daerah mengetahui kondisi riil masyarakat dikaitkan persoalan sosial, budaya, dan psikologi masyarakatnya.
Hasil tes psikometri itu, kata Dedi, tentunya sangat mengejutkan, UU ini harus punya keberanian mengatur hal tersebut untuk dapat menghasilkan dokter-dokter yang memiliki empati tinggi.
Selain itu, RUU Pendidikan Kedokteran ini juga diharapkan dapat mengantisipasi penerapan AFTA dan WTO akibat ketimpangan yang terjadi. (tt) foto:tt/parle