Hasil Kunjungan Pansus Panas Bumi Ke New Zealand
Pansus Panas Bumi telah melakukan kunjungan Kerja ke New Zealand pada 28 April-4 Mei 2014 lalu. Kunjungan tersebut terbagi atas dua tim. dimana tim pertama mencoba menggali persoalan teknis, dan tim lainnya mencari masukan dengan parlemen, asosiasi panas bumi dan Mahasiswa Indonesia di New Zealand.
"Kita telah berbicara dengan Ahli konsultan panas bumi, Michael Allen, serta mengadakan pertemuan dengan mahasiswa PPI di New Zealand, dimana pembahasan mengenai APBN 2014, mengerucut membahas mengenai subsidi energi, terakhir yaitu urgensi RUU Panas Bumi tersebut," ujar Wakil Ketua Pansus Panas Bumi Satya W. Yudha saat mengadakan konferensi Pers di Gedung DPR, Rabu, (7/5).
Menurutnya, konferensi pers ini bertujuan meluruskan dan menyamakan persepsi terkait urgensi kunker luar negeri. Pasalnya, kalangan media banyak memandang ini hanya menghabiskan anggaran semata. "Semoga dengan konferensi pers ini dapat merubah persepsi yang muncul disana-sini," jelasnya.
Dia menambahkan, Kunjungan keluar negeri bukan mengatasnamakan Komisi VII DPRR tetapi merupakan kunker Panitia Khusus yang merupakan Panja besar melibatkan berbagai anggota dari Komisi lainnya. "Karena ini menyangkut berbagai macam aspek tidak hanya lingkup Komisi VII DPR maka dibahas pada tingkat Pansus, ada juga dari anggota Komisi V, VI, dan VII DPR," terangnya.
Satya mengatakan, RUU Revisi Panas Bumi sangat urgent bagi Indonesia. faktanya, Kita sudah memiliki UU Panas bumi sejak tahun 1971 namun sampai saat ini, Geothermal masih belum berkembang secara masif. "Dahulu kita berpikir bahwa sumber energi terfokus kepada Non renewable energi bukan renewable,karena itu perlu strategi pemerintah yang harus dirubah," katanya.
Energi Panas Bumi bisa, paparnya, bisa berupa, air, angin, panas bumi bahkan tidak menutup kemungkinan energi nuklir. "Semua potensi ini tidak boleh dianaktirikan karena subsidi listrik terus membengkak dan dalam Pagu mencapai Rp. 71 Triliun karena kenaikan harga minyak. "Bahkan sekarang ini subsidi energi bisa mencapai 300 Triliun, sehingga proyeksi pengeluaran semakin membengkak," jelasnya.
Dia menambahkan, UU yang lama menghambat perkembangan energi alternatif karena ada kalimat yang menyatakan bahwa panas bumi merupakan bagian dari pertambangan. "Aspek komersialisasi panas bumi dipandang belum bisa mengajak orang untuk investasi di bidang panas bumi," ujarnya.
Karena itu, lanjut Satya, perlu ada perbaikan harga jual uap dan atau listrik dengan menerapkan feed in tarif. Dia mencontohkan, harga panas bumi untuk listrik 9.7 sen kwh kemudian saat tender diserahkan ke daerah dengan lelang terbuka harga bisa ditekan mencapai 6 sen kwh.
"Akibatnya pemain lokal tidak tertarik untuk investasi, oleh karena itu, kita mendorong industri domestik untuk berinvestasi dalam rangka menjadikan harga panas bumi semakin kompetitif dan mendorong minat investor," katanya.(si)/foto:odjie/parle/iw.