Revisi UU Nomor 39 Tahun 2004 Untuk Lindungi TKI
Tujuan DPR merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri semata untuk memproteksi dan melindungi TKI. Karena, sebelumnya perlindungan TKI semua dibebankan kepada swasta. Tapi, kini dibebankan pada pemerintah.
“Dalam revisi ini pemerintah pada akhir Desember 2015 diharapkan sudah selesai menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), Surpresnya (Surat Presiden) segera keluar, dan DPR RI segera menyelesaikan dan mengesahkan pada awal tahun 2016,” kata Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf dalam diskusi forum legislasi ‘Revisi UU No.39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri’ bersama Kepala BNP2TKI Nusron Wahid, dan Ketua Migrant Care Anis Hidayah di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (29/9/2015).
“Dengan hadirnya negara untuk perlindungan TKI di luar negeri tersebut, tegas Dede, maka ke depan komunikasinya antara pemerintah dengan pemerintah (G to G), termasuk negara mana yang dibuka dan atau ditutup untuk pengiriman TKI. Sehingga kalau tidak punya UU Ketenagakerjaan atau peraturan (kontrak kerja) yang sederajat dan mengikat, maka kita tidak mengkirimkan TKI,” tegas politisi Demokrat itu.
Diakui Dede, jika dalam revisi ini sifatnya banyak instruksi agar pemerintah lebih aktif dalam memberikan perlindungan TKI di luar negeri dan langsung berkomunikasi dengan negara terkait, sehingga pelayanannya pun menjadi satu atap, satu pintu. Baik sejak rekrutmen, pelatihan, pengiriman, dan perlindungan.
“Tentu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan pusat. Dimana rekruitmen, pelatihan dan pengiriman itu dilakukan melalui daerah karena didata dari desa. Anggarannya pun bisa dialokasikan melalui APBD maupun APBN,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala BNP2TKI Nusron Wahid menegaskan dari struktur dan kontens, materi dalam revisi UU No.39 tahun 2004 tentang perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri ini belum banyak perubahan dibanding UU yang asli sebelumnya. Hanya nama dan istilahnya yang berubah, tapi aspek filosofi dan strukturnya sama, sehingga belum bisa menjawab ekspektasi perlindungan TKI di luar negeri.
“Juga belum sesuai dengan UU No.12 tahun 2011 tentang tata cara urutan perundang-undangan,” tegas Nusron Wahid.
Khusus mengenai pekerja migrant kata Ketua Umum PP GP Ansor ini, setidaknya harus sesuai dengan amanat konstitusi (pasal 27 UUD NRI 1945), setiap WNI berhak atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, soal penempatan TKI di luar negeri diatur oleh UU tersendiri (UU No.13 tahun 2003), sesuai ratifikasi konvensi PBB (UU No.6 tahun 2012), maka UU TKI itu tidak boleh menyimpang dari ketiga UU tersebut. “Selebihnya tergantung fenomena sosial dan politik,” tutur Nusron.
Dengan demikian lanjut Nusron, maka menjadi TKI itu wajib sejahtera. Tapi, kalau negara tidak mampu mensejahterakan, maka perlu aturan-aturan seperti keharusan mempunyai kompetensi dan kelengkapan administratif lainnya. Karena itu dia meminta UU itu jangan sampai lebih banyak instruksi, melainkan harus menjadi norma, agar jelas pengaturannya antara operasional dan kebijakan. Termasuk dalam menetapkan negara tujuan TKI. “Selama ini kita belum ada batasan antara kebijakan dan operasional, sehingga harus mendatangi banyak negara,” pungkasnya.
Revisi UU No.39 tahun 2009 tentang perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri ini memang suatu keharusan, karena UU TKI sebelumnya cacat hukum, cacat dimensi perlindungan HAM, dan tanpa naskah akademik. DPR periode 2009-2014 yang mengganti istilah perlindungan dan penempatan TKI, tapi secara substansi tidak berubah.
Sementara itu, Ketua Migrant Care Anis Hidayah menegaskan revisi UU No.39 Tahun 2004 menjadi alat legitimasi TKI di luar negeri.
“Setidaknya ada beberapa alasan direvisi, yaitu menjadi alat legitimasi, memastikan TKI layak atau tidak di luar negeri, pemberian wewenang kepada swasta yang besar. Padahal, Nawacita Jokowi adalah negara harus hadir. Tata kelola kelembagaan antara Kemenaker RI dan BNP2TKI agar tidak behadap-hadapan, pentingnya pengawasan sehingga menteri tidak perlu panjat pagar, dan bisa langsung menjatuhkan sanksi bagi PJTKI yang melanggar hukum, dan aspek akses keadilan,” tegas Anis.
Padahal kata Anis, wajah buruh migrant itu adalah perempuan, maka UU TKI ini tidak boleh meninggalkan dimensi perempuan. “Jadi, dalam revisi UU TKI luar negeri ini jangan sampai meninggalkan aspek perempuan, maka proteksi itu diberikan sejak pra penempatan dan pasca penempatan. Sebab, buruh migrant itu rentan dengan perbudakan. Pada tahun 2014 data perbudakan WNI itu meningkat 300% karena pemerintah tidak respon dari 6,8 juta TKI Indonesia,” pungkasnya. (sc/nt)/foto:iwan armanias/parle/iw.