-
Data tidak ditemukan.
Deskripsi Konsepsi (DPD)
- Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses legislasi khususnya dalam rangka mengemban visi dan misi memperjuangkan kepentingan daerah dalam penentuan kebijakan nasional;
- Merumuskan permasalahan hukum yang terkait dengan penentuan norma-norma hukum kewenangan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian didelegasikan ke undang-undang pelaksanaannya, yaini UU MD3;
- Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan
- Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.
UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah menjelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan DPD, namun beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 dinilai belum secara maksimal mengejahwantahkan kewenangan DPD sebagaimana UUD 1945 hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah mengembalikan kewenangan DPD dalam pemenuhan fungsi legislasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
Namun demikian, UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (UU MD3) yang terbit pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan menggantikan UU No. 27 Tahun 2009, tetap saja memuat ketentuan Pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 nyata-nyata tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 tersebut. Kondisi yang demikian ini jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum, karena justru Lembaga Negara setingkat pembentuk UU juga tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan Putusan MK tersebut, DPD berpandangan perlunya dilakukan penyesuaian dan perubahan terhadap UU MD3 terutama kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan kelembagaan DPD serta mekanisme pelaksanaan pembahasan legislasi yang konstitusional.
Disisi lain, DPD juga berpandangan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD, dan DPRD harus diatur melalui undang-undang yang terpisah. Hal ini sejalan dengan Pasal 22C Ayat (4) jo Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Makna kata “dengan” dapat diasumsikan bahwa pengaturan tengtang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam ketentuan undang-undang sendiri. Begitupun dengan DPR sebagaimana Pasal 19 Ayat (2) UUD 1945.
Adapun tujuan penyusunan RUU Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, adalah:
- Pengaturan DPR diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 245. Sedangkan pengaturan DPD diatur dalam Pasal 246 sampai dengan 262. Hal ini berarti secara umum DPR diatur dalam 178 ketentuan, sedangkan DPD diatur dalam 16 ketentuan. Hal ini menunjukkan bahwa kesungguhan dalam menyusun aturan main sungguh sangat timpang. Padahal keduanya merupakan lembaga perwakilan yang harus saling mengisi demi implemnetasi check and balance dalam demokrasi desentralistik;
- Alat kelengkapan diantara DPR dan DPD juga timpang, karena di DPR ada 10 item alat kelengkapan (Pasal 83 ayat 1 UU MD3), sementara di DPD hanya ada 7 item alat kelengkapan (Pasal 259 ayat 1 UU MD3). Hal ini menunjukkan bahwa dukungan aspek struktur organisasi dalam rangka mendukung pelaksanaan wewenang, fungsi, dan tugas sangat tidak seimbang. Ketimpangan semacam ini semata-mata bukan karena persoalan konstitusional, melainkan persoalan politik perundang-undangan yang dibangun oleh pembentuk UU MD3;
- Hak anggota DPR dan anggota DPD juga mengalami diskriminasi yang sangat mencolok. Hak anggota DPR dirumuskan dalam 11 item (Pasal 80 UU MD3), sedangkan hak anggota DPD dirumuskan hanya 7 item (Pasal 257 UU MD3). Perlu diketahui bahwa hak anggota ini merupakan prinsip yang harus dipergunakan untuk memback up pelaksananaan fungsi kelembagaan. Tanpa hak yang dirumuskan secara signifikan, maka dimungkinkan akan mengakibatkan ketiadaan kepastian hukum yang sama. Dengan demikian jika hak itu tidak diatur secara equal, maka hal ini jelas melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Pengaturan tentang susunan dan kedudukan serta pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta pelaksanaan pembahasan legsilasi sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. Secara umum substansi UU MD3 yang mengatur aspek kelembagaan antara DPR dan DPD sangat timpang (unequal), padahal dalam sistematika UUD 1945 kedua lembaga ini adalah lembaga negara yang dipergunakan untuk mengimplementasikan check and balance dalam paradigma demokrasi-desentralistik. Demokrasi desentralistik adalah konsep partisipasi atau keikutsertaan daerah (teritorial) dalam perumusan kebijakan publik di tingkat nasional. Dengan paradigma seperti ini, peran DPD justru sangat strategis guna mensinkronkan kepentingan daerah (bukan per daerah) dengan kepentingan politik dan pusat. Ketimpangan pengaturan kelembagaan antara DPR dan DPD di dalam UU MD3 secara kasat mata nampak dari 3 (tiga) hal:
Dengan memperhatikan sistematika pengaturan yang demikian ini, jelas menunjukkan bahwa pelemahan terhadap wewenang, fungsi, dan tugas DPD memang sengaja dilakukan. Pendek kata, kewenangan konstitusional DPD sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 semakin dikebiri, dan jelas tidak mendukung pelaksanaan fungsi territorial representative yang dalam tataran empirik justru lebih berat ketimbang political representative
Substansi yang akan diatur dalam RUU ini adalah mengenai susunan, kedudukan, kerumahtanggan, serta pelaksaanaan kewenangan lembaga MPR, DPR, DPD dan DPRD serta pelaksanaan fungsi dan tugas DPD sesuai dengan UUD 1945. Secara umum jangkauan materi muatan UU Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 adalah merumuskan norma-norma hukum Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 ke dalam UU Perubahan yang belum diakomodasi oleh UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3. Perumusan kembali putusan MK tersebut pada hakikatnya mengandung dua arti penting. Pertama; mengembalikan mekanisme check and balance dalam sistem demokrasi desentralistik seturut dengan constitutional jurisprudence yang telah temukan oleh MK melalui constitutional intepretation. Kedua, mengembalikan marwah Putusan MK No. 92/PUU-X/2014 ysang sekaligus juga menghormati keberadaan MK sebagai lembaga konstitusional yang diberi wewenang melakukan tafsir Undang-Undang terhadap UUD 1945. Dengan pengembalian marwah Putusan MK tersebut, berarti para pembentuk UU tidak dipandang telah melakukan contempt of court dan sekaligus mengkerdilkan MK serta konstitusi itu sendiri.
Adapun arah pengaturan RUU Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentangb MD3 bahwa Penggaturan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak lain ditujukan untuk mengembalikan kewenangan konstitusional DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 22D UUD 1945 yang kemudian lebih ditegaskan lagi melalui Putusan MK No. 92/PUU-X/2012. Arah pengaturan tersebut tidak sampai mengubah total UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 tersebut, melainkan hanya parsial, yakni terkait dengan keberadaan DPD dalam proses legislasi UU tertentu. Dengan demikian, model UU Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 mempergunakan pola adendum sebagaimana telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Perlu diketahui pula, bahwa arah perubahan UU tersebut pada hakikatnya mengandung dua aspek, yakni pertama, mengakomodasi kewenangan-kewenangan DPD pasca Putusan MK, dan kedua, menambah beberapa ketentuan yang terkait dengan aspek kelembagaan dan kemandirian anggaran. Aspek kedua perlu dimasukkan dalam ketentuan UU Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, karena sebagai lembaga tinggi negara, maka pengaturan tentang aspek kelambagaan dan anggaran harus bersifat equal alias seimbang dan nondiskriminatif. Ini adalah prinsip konstitusi dan prinsip dasar dalam pengelolaan di tingkatan lembaga tinggi negara.
-
Data tidak ditemukan.
-
Data tidak ditemukan.