PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI bekerja sama dengan Amnesty International menggelar Focus Group Discussion (FGD) membahas perlindungan hak asasi manusia bagi pengungsi Rohingya. FGD yang merupakan tindak lanjut dari pertemuan BKSAP dengan Amnesty Internasional pada bulan November 2024 tersebut, bertujuan untuk mencari solusi yang lebih efektif dan efisien dalam menangani masalah pengungsi Rohingya.
FGD ini dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk Komisi XIII DPR RI yang membidangi Hukum, Hak Asasi Manusia, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum, Kementerian HAM, Kantor Staf Presiden (KSP), organisasi internasional seperti UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) dan IOM (Organisasi Internasional untuk Migrasi), serta organisasi masyarakat sipil seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah.
Mardani menjelaskan bahwa Indonesia memiliki amanat konstitusi untuk ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dunia dan memiliki perangkat yang lengkap dalam penanganan pengungsi. Namun, masalah pengungsi Rohingya yang telah berlangsung lama memerlukan penanganan yang lebih komprehensif dan terkoordinasi.
"Indonesia punya perangkat yang sangat lengkap termasuk negara yang sangat dihormati dalam urusan penanganan masalah pengungsi ini. Nah tapi memang karena pengungsi Rohingya ini (sudah berlangsung) lama dari 2009 terus datang perlu penanganan yang lebih komprehensif dan orkestrasi yang lebih baik," kata Mardani kepada Parlementaria, di sela-sela FGD di Gedung Nusantara III, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
Dalam FGD tersebut, setidaknya ada tiga hal yang menjadi fokus pembahasan. Di antaranya adalah soal payung hukum yakni Peraturan Presiden (Perpres) No. 125 Tahun 2016 yang perlu dilengkapi dengan prosedur tetap yang lebih tegas, terutama terkait penanganan awal pengungsi yang baru datang. "Itu titik krusialnya. Mau penanganan selanjutnya bisa, tapi dia harus ditempatkan di mana, diproses oleh imigrasi, UNHCR, baru kemudian ada proses-proses berikutnya. Tapi di protap ini kita belum tegas," jelas Politisi Fraksi PKS ini.
Kedua, soal nomenklatur kementerian yang berubah di pemerintahan saat ini, sehingga perlu kejelasan dan keselarasan lembaga mana yang bertanggung jawab terkait penanganan pengungsi. "Tadinya ada PPLN kayak semacam tim utama penanganannya itu di bawah Menkopolhukam. Sekarang (nomenklatur) Menkopolhukam-nya dipecah. Nah ini yang akhirnya perlu diletakkan alamatnya di mana," lanjutnya.
Kemudian yang ketiga adalah soal koordinasi baik pemerintah pusat, daerah, masyarakat, organisasi masyarakat, hingga pihak swasta yang masih perlu ditingkatkan. "Tentu pemerintah daerah dengan pemerintah pusat harus sama. Pemerintah daerah, pusat, dengan masyarakat, harus nyambung, dengan civil society kayak NU, Muhammadiyah nyambung, dan yang utama juga dengan private (swasta) karena kita juga bisa menyalurkan bantuan dari private untuk urusan ini," imbuh Mardani.
Sementara itu, di ranah legislatif, BKSAP sendiri akan membawa isu pengungsi Rohingya ke dalam forum di AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly). BKSAP berharap negara-negara ASEAN dapat bersama-sama mengatasi masalah hak kemanusiaan orang Rohingya.
"Kita akan mengusulkan kayak semacam komisi ad hoc di AIPA, Parlemen ASEAN agar bab ini bisa sama-sama (dibahas). Dan yang kedua tentu menerapkan kesepakatan five-point consensus. Itu inisiatif dari Indonesia bagaimana ketika kita jadi ketua ASEAN kita mengusulkan ini dan kita berharap masalah ini selesai. Pengungsi rohingya kembali mendapatkan haknya sebagai warga negara Myanmar yang setara," ungkapnya.
Ketika ditanya terkait prinsip Tidak Intervensi antar-Negara ASEAN (Principle of Non-Interference), Mardani menegaskan bahwa yang dilakukan oleh BKSAP DPR RI adalah jalur kedua diplomasi (second track diplomacy), sebagaimana Pemerintah yang mengambil peran sebagai jalur utama diplomasi (first track diplomacy). Sehingga, menurutnya, keterlibatan DPR RI untuk menangani persoalan pengungsi Rohingya adalah satu nafas dengan yang dilakukan Pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu).
“Bahkan (AIPA) di tahun 2017, di 2023 sudah mengajukan juga, resolusi (penanganan pengungsi Rohingya) diterima. Di 2024 saja kita mengajukan tapi karena kita tidak hadir akhirnya tidak dibahas. Dan posisi kita didukung sama Malaysia dan Filipina, hanya Thailand, Kamboja, dan Laos yang berbeda. Memang tidak konsensus tapi tetap kita naikkan terus isu ini. Itu tidak termasuk intervensi namanya,” tegasnya.
“Artinya DPR hanya mengikuti ritme pemerintah yang sudah lebih dahulu. Ya, pemerintah kan first track diplomacy, kita (DPR RI) second track diplomacy. Kita dukung pemerintah. Tegas, jelas. Di lima poin consensus juga menekan pemerintah Myanmar. Tadi Dirjen ASEAN Kemlu dan Direktur HAM nya Kemlu juga hadir dalam FGD,” pungkasnya. (bia/rdn)
Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
Kontak
©2022 Sekretariat Jenderal DPR RI. All right reserved