Komisi X DPR Minta Masukan Akademisi Jatim Terkait RUU Pendidikan Kedokteran
Komisi X DPR RI meminta masukan para Akademisi dari Universitas Airlangga, Asosiasi Institut Pendidikan Kedokteran Indonesia Provinsi Jawa Timur serta pihak-pihak yang terkait dengan kepentingan kedokteran terkait pembahasan RUU tentang Pendidikan Kedokteran.
Kunjungan dalam rangka menyerap aspirasi para akademisi ini akan dilakukan esok hari (Rabu 21/3) yang akan dipimpin Wakil Ketua Komisi X Utut Adianto, didampingi Wakil Ketua Komisi X H. Syamsul Bachri dan diikuti delapan anggota Komisi X lainnya.
Selain ke Provinsi Jawa Timur, Panitia Kerja (Panja) RUU tentang Pendidikan Kedokteran ini juga menurunkan dua tim lainnya yaitu ke Provinsi Sumatera Selatan dipimpin Ketua Komisi X DPR H. Mahyuddin dan Provinsi Sumatera Utara dipimpin Wakil Ketua Komisi X H. Asman Abnur.
RUU tentang Pendidikan Kedokteran ini merupakan usul inisiatif DPR RI dan masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2012. RUU ini sekarang masuk dalam tahap Pembicaraan Tingkat I.
Pada pertemuan tersebut, Komisi X DPR juga mengundang Ikatan Dokter Indonesia Provinsi Jatim, Direktur Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Kedokteran, Konsil Kedokteran Indonesia, Kolegium Kedokteran Indonesia, Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia, BEM Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan BEM Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga.
RUU tentang Pendidikan Kedokteran disusun dengan latar belakang situasi tenaga dokter dan tenaga dokter spesialis yang membutuhkan penangangan khusus. Dokter dan dokter spesalis merupakan tenaga strategis yang mempengaruhi kesejahteraan bangsa. RUU pendidikan kedokteran ini juga merupakan antisipasi penerapan AFTA dan WTO.
Data Kolegium Kedokteran Indonesia per 31 Agustus 2010 menunjukkan bahwa jumlah dokter ada 72.094 dokter. Pada saat ini masih terdapat ketimpangan penyebaran dokter, dimana sebagian besar berada di kota besar khususnya di Pulau Jawa. Hampir 30% Puskesmas kosong dokter terutama di daerah sulit. Hal ini disebabkan tidak ada peraturan perundang-undangan tentang wajib kerja bagi dokter dan dokter spesialis.
Jumlah penduduk saat ini ada 238 juta, maka diperlukan sebanyak 95 ribu dokter. Jadi masih ada kekurangan 23 ribu dokter. Bila produksi per tahun 5.000 tenaga dokter, maka untuk memenuhi kebutuhan dokter baru akan tercukupi dalam 5 tahun.
Saat ini, ada 52 (lima puluh dua) fakultas kedokteran yang menyelenggarakan pendidikan kedokteran di Indonesia, sementara yang sudah meluluskan dokter sebanyak 36 (tiga puluh enam) fakultas. Setiap tahun dihasilkan 4.500 sampai 5.000 lulusan dokter.
Dari jumlah lulusan tersebut, yang dapat ditampung menjadi dokter pegawai tidak tetap (PTT) hanya sekitar 500 an orang pertahun, dan formasi menjadi PNS sangat terbatas.
Untuk pendidikan spesialis ada 32 (tiga puluh dua) cabang spesialisasi dokter di Indonesia. Hal ini lebih banyak dari USA (23 spesialis). Sistem pendidikan spesialis yang ada pada saat ini terbatas pada Fakultas Kedokteran Negeri (FKN) di rumahsakit pendidikan pemerintah.
Pendidikan spesialis menghasilkan 500 dokter spesialis setiap tahun di seluruh Indonesia. Namun dokter spesialis ini lebih banyak berkumpul di kota-kota besar. Lulusan dokter spesialis diharapkan meningkat menjadi 1.000 sampai 1.400 orang per tahun. Jumlah ini hanya dapat dicapai apabila ada perubahan mendasar pada sistem pendidikan dokter spesialis.
Masalah-masalah yang terkait dengan pendidikan kedokteran dan pendidikan dokter spesialis jika tidak segera diselesaikan, akan terus memburuk. Rasio dokter per penduduk di Indonesia menduduki peringkat paling rendah di negara anggota ASEAN dan distribusi dokter spesialis masih sangat senjang, karena lebih banyak berkumpul di kota-kota besar.
Dikhawatirkan peran dan posisi di berbagai tempat akan diambilalih oleh dokter asing sejalan dengan adanya proses globalisasi dan ratifikasi perjanjian AFTA dan WTO. Khusus untuk Asia Tenggara, strategi borderless saat ini banyak diterapkan oleh rumahsakit di berbagai kota besar (kecuali di Indonesia) untuk menarik pasien.
Pemerintah pada dekade terakhir melepaskan pendidikan dokter ke mekanisme pasar tanpa melakukan intervensi cukup. Sektor pendidikan dokter berjalan dengan kebijakan Pemerintah yang terbatas dan dana yang sedikit. Peran pemerintah tidak besar dan cenderung kurang ada rasa memiliki pendidikan dokter. Situasi ini perlu diperbaiki dengan kebijakan pemerintah yang kuat dengan tidak menghilangkan sama sekali keinginan dan kesediaan masyarakat membiayai dan mengatur pendidikan dokter dan pendidikan dokter spesialis.
Berbagai UU yang ada belum mengatur isu-isu kebijakan yang ada di atas. Peraturan pendidikan kedokteran belum jelas. Aturan yang ada hanya mengatur pada pendidikan strata satu di Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Nasional. Sementara untuk pendidikan kedokteran spesialis dan pascasarjana kedokteran tidak jelas pengaturannya.
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit tidak mengatur sampai pendanaan. Penetapan kurikulum kedokteran dan pendanaanya tidak ada dalam UU Sistem Pendidikan Nasional dan UU Praktek Kedokteran. Aspek Dosen pendidik yang khusus tidak ditemukan di UU Sistem Pendidikan Nasional.
Dapat dikatakan bahwa Pendidikan kedokteran merupakan resultan antara UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan UU Praktik Kedokteran (Kemkes). Oleh karena itu kehadiran UU tentang Pendidikan Kedokteran memang sangat dibutuhkan.
Utut berharap masukan-masukan dari akademisi ini dapat lebih menyempurnakan RUU Pendidikan Kedokteran yang sedang dibahas sekarang. (tt)