RUU Jasa Kontruksi Siapkan Perlindungan dan Kualitas Daya Saing
Rancangan Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi ini merupakan salah satu RUU Inisiatif DPR RI dalam Program Legilasi Nasional (prolegnas) 2015-2019. Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhidin M.Said mengatakan, revisi terhadap UU tentang Jasa Konstruksi perlu dilakukan karena perkembangan yang semakin pesat, dengan harapan bisa bersaing dengan negara lain, khususnya menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
”RUU ini memberikan perlindungan terhadap masyarakat jasa konstruksi baik pelaku usaha maupun tenaga kerja konstruksi di dalam negeri,” demikian disampaikan Muhidin, Rabu (8/4), di Gedung Gubernur Provinsi Jawa Timur, Surabaya.
Ia menjelaskan terdapat beberapa subtansi dalam RUU ini akan mengatur, antara lain terkait kelembagaan. Dalam RUU ini terdapat dua kelembagaan, yaitu Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional (BASJKN), dan Lembaga Pengembangan.
”Konsep kelembagaan ini guna memisahkan antara fungsi registrasi dan sertifikasi, dengan fungsi penelitian dan pengembangan (Litbang), pendidikan dan pelatihan (diklat),” ungkapnya.
BASJKN merupakan badan yang memiliki fungsi akreditasi dan sertifikasi yang dibiayai oleh APBN, diharapkan dalam kegiatan operasionalnya tidak menemui kendala anggaran. Sebaliknya hasil pungutan dari proses akreditasi dan serifikasi menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sementara, Lembaga Pengembangan yang merupakan wujud peran masyarakat jasa konstruksi berfungsi menjalankan atau mendorong penelitian dan pengembangan, menyelenggarakan pendidikan dan penelitian, menjalankan mediasi dan penilai ahli, serta menunjuk dan menetapkan penilai ahli.
Dalam konsep RUU, menurut Muhidin, terdapat perubahan bidang usaha dan siklus pekerjaan konstruksi. ” Pembidangan usaha jasa konstruksi didasarkan pada Central Product Clasification/CPC (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang kompatibel dengan playing field dan standar internasional,” paparnya.
Selanjutnya, terkait kegagalan konstruksi yang dalam RUU dibedakan menjadi kegagalan pekerjaan konstruksi dan kegagalan bangunan.Resiko kegagalan konstruksi diakibatkan oleh tidak terpenuhinya standar keselamatan konstruksi yanhg diatur lebih tegas dalam RUU ini. Termasuk pihak yang bertanggung jawab terhadap terjadinya resiko kegagalan konstruksi dan peran penilai ahli dalam penetapan pihak yang bertanggung jawab dan dalam tahapan pekerjaan konstruksi terkait kesalahan terjadi. ”Kegagalan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana,” tegas Muhidin..
Mengenai kesetaraan antara penyedia jasa dan mengguna jasa dan kepastian hukum, maka RUU ini diatur standar minimal kontrak kerja konstruksi.RUU ini juga memberikan perlindungan terhadap masyarakat jasa konstruksi baik pelaku usaha maupun tenaga kerja konstruksi di dalam negeri.
" Terdapat batasan dan persyaratan yang lebih selektif terhadap badan usaha asing maupun tenaga ahli asing yang ingin mengerjakan pekerjaan konstruksi di Indonesia," katanya. (as)