Hitung Ulang Neraca Gula Nasional

07-09-2015 / KOMISI VI

Impor gula rafinasi yang tak terkendali hingga mencapai 2,2 juta ton pada tahun ini, telah menghancurkan hidup petani gula nasional. Bahkan, pemerintah merencanakan kuota impor gula rafinasi hingga 3,12 juta ton pada 2015.

 

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan, Senin (7/9), mengkritisi kebijakan Kemeterian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang telah merencanakan kuota impor gula tersebut. Salah hitung atas kebutuhan impor gula rafinasi perlu ditelusuri. Data neraca gula tak kunjung beres, sehingga impor gula yang terlalu banyak sangat menguntungkan para mafia, bukan petani.

 

“Di Indonesia, gula adalah komoditas terpenting kedua setelah beras. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang mencapai seperempat miliar orang, maka berdasarkan data organisasi gula internasional (ISO), pertumbuhan gula Indonesia sebesar empat persen per tahun,” ungkap politisi Partai Gerindra tersebut.

 

Selama ini, sambung Heri, tak ada kesesuaian data menyangkut produksi dan konsumsi gula nasional. Heri mencontohkan, data dari Kemendag dan Kemenperin menyebutkan kebutuhan gula diperkirakan mencapai 5,7 juta ton. Data lain menyebutkan, kebutuhan gula rafinasi hanya 2,5 juta ton. Sementara produksi gula rafinasi dalam negeri sekitar 2,1 juta ton.  

 

Data Asosiasi Gula Indonesia (AGI) menunjukkan stok gula di dalam negeri mencapai 1,5 juta ton plus produksi 2,54 juta ton. Untuk konsumsi gula rumah tangga mencapai 2,89 juta ton. “Dari sini, kita bisa lihat dengan nyata dampak dari tidak beresnya data neraca gula nasional. Data yang tidak valid itu menjadi sebab tidak beresnya masalah gula nasional. Bagaimana mungkin kita bisa membuat peta jalan industri gula nasional kalau neraca gula saja tidak pernah beres,” tegas Heri.

 

Menurut Heri, kebijakan impor gula sangat bergantung pada produksi dan konsumsi gula nasional. Bila produksi gula defesit, impor dilakukan untuk menjaga stabilitas harga di dalam negeri. Persoalannya dengan data yang tidak pernah beres selama ini, kelebihan impor menjadi bias dan rawan penyimpangan.

 

“Kelebihan impor itu sangat mungkin menjadi permainan mafia. Jika mafia itu mendapat Rp2000 saja untuk setiap kg gula, maka mereka bisa untung triliunan rupiah. Mereka mendapat keuntungan di atas penderitaan petani gula yang merugi karena harga jatuh. Maka kami dari Komisi VI meminta Kemendag, Kemenperin, dan instansi terkait untuk menghitung ulang neraca gula nasional yang lebih valid. Perhitungan itu harus dilakukan dengan mengecek langsung produksi dan konsumsi gula di lapangan.” (mh)/foto:andri/parle/iw.

 

 

 

 

BERITA TERKAIT
Asep Wahyuwijaya Sepakat Perampingan BUMN Demi Bangun Iklim Bisnis Produktif
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana akan melakukan rasionalisasi BUMN pada tahun 2025. Salah...
147 Aset Senilai Rp3,32 T Raib, Komisi VI Segera Panggil Pimpinan ID FOOD
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan raibnya 147 aset BUMN ID Food senilai Rp3,32 triliun. Menanggapi laporan tersebut,...
Herman Khaeron: Kebijakan Kenaikan PPN Difokuskan untuk Barang Mewah dan Pro-Rakyat
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan mulai berlaku per 1 Januari 2025. Keputusan ini...
Herman Khaeron: Kebijakan PPN 12 Persen Harus Sejalan dengan Perlindungan Masyarakat Rentan
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menyoroti pentingnya keberimbangan dalam implementasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai...