Harus Ada Perbedaan Tarif BPJS Kesehatan RS Negeri dan Swasta
“RS Negeri dan Swasta itu berbeda. Jika pengenaan tarif disamakan, mereka keberatan. Itu yang menyebabkan mengapa RS swasta banyak yang tidak mau bekerjasama dengan BPJS,” tegas Irma, saat RDP dengan Direksi BPJS Kesehatan, di Gedung Nusantara I, Senin (7/09/15). Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi IX Dede Yusuf Macan Effendi.
Politikus F-Nasdem ini juga meminta juga ada perbedaan dalam tarif diagnosa penyakit pasien menurut dokter (inasibijis) antara RS Negeri dan Swasta. Sehingga, RS Swasta dapat memaksimalkan kinerja dan servis kepada peserta BPJS.
“Saya sudah menyampaikan kepada Menteri Kesehatan, harusnya dievaluasi bisa tidak jika tarif inasibijis dibedakan untuk RS swasta dan negeri. Ini suatu ketidakadilan, makanya RS swasta tidak mau karena mereka merasa dirugikan. Ini bukan dari BPJS, justru dari Pemerintah. Harus dikaji kembali,” tegas Irma.
Politikus asal daerah pemilihan Sumatera Selatan ini juga menyoroti sulitnya mekanisme pendaftaran untuk menjadi Anggota BPJS. Ia meminta, syarat yang diberikan kepada masyarakat jangan dipersulit.
“Harapannya agar BPJS bisa bekerja maksimal untuk meng-cover masyarakat Indonesia agar ketika sakit tidak kesulitan saat berobat, obat sesuai dengan penyakitnya, dan tidak kesulitan dalam mendaftar menjadi anggota BPJS. Karena Presiden sudah menyampaikan, bahwa seluruh rakyat harus dicover,” pesan Irma.
Sementara itu, Anggota Komisi IX Marwan Dasopang (F-PKB) menilai, implementasi BPJS Kesehatan masih banyak kekurangan maupun kelemahannya. Ia mengaku, banyak masyarakat di daerahnya yang belum memiliki kartu BPJS. Belum lagi, akibat tidak memiliki kartu BPJS, tidak dilayani secara maksimal.
“Bagi yang tidak mempunyai kartu, tidak diberikan pelayanan yang baik. Layanan dokter terjadi diskriminasi kelas dalam fasilitasnya. Misalnya dengan membagi rakyat kelas perkelas dalam urusan kesehatan, dan kesalahan ini berada didalam sistematis pihak BPJS,” tegas politikus asal dapil Sumut itu.
Sementara itu, Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, metode Diagnosis-Related Group (DRG) merupakan metode pembayaran paling baik. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menggunakan metode prospektif untuk pembayaran klaim biaya kesehatan dengan menggunakan sistem INA-CBG. Sistem ini menggunakan dasar paket kelompok diagnosis.
“Metode ini sebaiknya dipertahankan dengan kondisi yang baik, dengan memperbaiki tenaga medis, manajemen RS, farmasi, dan keperawatan. Ketersediaan obat – obatan harus lebih dioptimalkan, dan sekarang sedang dalam proses perbaikan,” jelas Idris.
Idris menambahkan, Peraturan BPJS dalam UU No.2 tahun 2015, dalam tarif perlu diadakannya sosialisasi. Hasil temuan di lapangan, untuk berjalannya BPJS, tidak terlibatnya Kepala daerah, Bupati, Walikota, Gubernur dalam penyelenggaran BPJS.
“Padahal mereka termasuk bagian pemerintah yang sangat peduli dalam hal kesehatan. INA CaBG merupakan anggaran yang baik, agar mencegah dokter yang bekerja seenaknya sehingga bekerja dengan baik dan sesuai dengan yang seharusnya dilakukan,” lanjut Idris, sambil memohon dukungan dari DPR untuk meningkatkan pelayanan mutu dan mekanisme mapun sistim yang seharusnya. (sf,ctr)/foto:jaka/parle/iw.