Perbankan Nasional dan Asing Perlu Kesetaraan
Menyusul Protokol VI yang akan diratifikasi oleh negara-negara di kawasan ASEAN menyangkut masuknya perbankan asing ke Indonesia dan sebaliknya, perlu ada kesetaraan perlakuan dari masing-masing negara untuk saling membuka cabang perbankannya.
Komisi XI DPR RI sudah bersikap, agar ratifikasi Protokol ini diterjemahkan dalam bentuk UU, bukan Peraturan Presiden (Perpres) seperti diusulkan pemerintah. Anggota Komisi XI DPR Amir Uskara menegaskan hal tersebut sebelum mengikuti Rapat Paripurna DPR, Selasa (26/1). Menurut Amir, ratifikasi Protokol VI di bidang jasa keuangan ini, sangat berdampak bagi masyarakat luas di Tanah Air. Untuk itu, persetujuan ratifikasinya harus dalam bentuk UU.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Komisi XI DPR sudah mengundang pemerintah untuk menjelaskan usulan ratifikasi protokol ini. Protokol I-V sudah diratifikasi dengan Kepres. Sementara Protokol VI merupakan paket komitmen keenam di bidang jasa keuangan dalam persetujuan kerangka kerja ASEAN. Pemerintah ingin minta izin DPR untuk meratifikasinya.
Dalam Protokol VI ditambahkan Kota Makasar yang bisa menerima perwakilan cabang bank asing. Dari 11 kota di Indonesia yang tersedia, bank asing hanya boleh membuka cabangnya di dua kota. Jadi, bank asing harus memilih dua kota saja dari 11 kota di Indonesia.
Politisi PPP itu, menilai, belum ada kesetaraan pembukaan jasa keuangan di setiap negara ASEAN. Bank dari Indonesia belum banyak diterima atau setidaknya masih terlalu sedikit cabangnya di negara-negara peratifikasi protokol ini. Sementara CIMB, bank asal Malaysia sudah cukup banyak di Tanah Air.
Yang juga menjadi kritik tajam Komisi XI adalah kata “liberalisasi” dalam protokol tersebut. Dikatakan Amir, kata ini sangat mengganggu prinsip ekonomi Indonesia. Untuk itu, Komisi XI meminta kepada pemerintah untuk merubah redaksi kata tersebut dalam Protokol VI.
Saat protokol ini dituangkan dalam UU, maka pemerintah dan DPR akan merumuskan bersama-sama. “Itu sangat bertentangan dengan prinsip ekonomi kita. Justru kita menolak secara halus supaya sesuai UU. Kata liberalisasi harus kita perbaiki sama-sama,” ujar Amir lagi. (mh), foto : jaka/parle/hr.