Ketika Pendamping Desa Menjadi "Romlah"
Melakukan pendampingan secara sukarela terkait Program Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) walaupun gaji (honor) dan status tidak jelas, itulah yang memunculkan istilah Rombongan Lillahita’ala (Romlah) bagi para eks PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) yang kini menjadi Pendamping Desa (Pendes) di Provinsi Jambi.
Sebutan Romlah terucap saat Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi V DPR RI menggelar pertemuan dengan Gubernur Jambi dan jajaran SKPD serta dihadiri perwakilan pendamping desa dari 3 kabupaten di Ruang Pola Kantor Gubernur Jambi, Senin (7/3/2016).
Selain gaji dan status yang tidak jelas, Akmal perwakilan Pendes asal Kabupaten Tanjung Jabung Timur, mengungkapkan ketiadaan dana operasional kegiatan dalam PPMD terkait pemanfaatan dana desa. Hal tersebut berbeda saat pelaksanaan PNPM era pemerintahan sebelumnya yang selalu menyertakan alokasi dana operasional dalam setiap kegiatan.
“Padahal dalam setiap kegiatan kita butuh konsumsi, biasanya hal itu kita ambil dari dana operasional, tapi kalau sekarang tidak boleh (tidak ada alokasinya) kita harus bagaimana lagi? Tanya Akmal.
Persoalan lainnya adalah standarisasi gaji (honor) yang terlalu umum. Tidak ada perbedaan antara pendamping desa yang bertugas di desa yang secara geografis normal dengan pendamping desa yang bertugas di wilayah pegunungan dengan medan sulit atau bahkan di kepulauan.
“Tunjangan operasional untuk daerah sulit itu era PNPM ada dan jelas,” tukas Akmal coba memperbandingkan.
Menanggapi berbagai masukan dari perwakilan pendamping desa, Anggota Komisi V DPR Yoseph Umarhadi mengapresiasi berbagai aspirasi yang disampaikan para pendamping desa. Dirinya juga cukup puas dengan laporan penggunaan dana desa di Provinsi Jambi yang sejauh ini terlihat tidak ada masalah.
“Jika melihat laporan penggunaan dana desa sudah cukup baik, namun saya ingin mengingatkan perlunya alur perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan dalam setiap program pemberdayaan masyarakat desa di Jambi,” jelas Yoseph.
Politisi PDI-Perjuangan ini juga sempat menanyakan mengapa dari tes pendamping desa di Provinsi Jambi yang diikuti 6.263 peserta hanya 600-an orang saja yang dinyatakan lulus. Apakah jumlah tersebut cukup untuk melengkapi kebutuhan pendamping desa di semua tingkatan?
“Seyogyanya para eks PNPM bisa lebih diperhatikan (diakomodir sebagai Pendes) namun tetap melalui mekanisme tes yang ada,” pesan Yoseph.
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi V DPR Novita Wijayanti, menurutnya pola rekruitment para pendamping desa juga sebaiknya mempertimbangkan para mantan pendamping PNPM karena dianggap sudah cukup berpengalaman.
“Saya juga berpesan jangan sampai timbul masalah hukum terkait penggunaaan dana desa, oleh karenanya diperlukan kehati-hatian serta pengawasan dari semua pihak,” jelas politisi Gerindra asal Dapil Jateng VIII.
Novita, demikian ia biasa disapa juga berharap kedepan gaji (honor) para pendamping desa bisa naik seiring kenaikan besaran dana desa tiap tahunnya.
Di lain pihak, Muklis, Direktur Pembangunan Ekonomi Pedesaan Kementerian Desa, mengakui adanya keterlambatan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) terkait penggunaan dana desa karena masih dibahas di Kemenkumham dan Kemenkeu sehingga menghambat pelaksanaan di lapangan.
“Sudah ada Peraturan Menteri Desa (Permendes) sehingga dalam waktu dekat bisa dicairkan,” ungkap Muklis saat menjawab soal dana operasional bagi para pendamping desa.
Lebih lanjut, Muklis menjelaskan bahwa pendampingan itu sifatnya intervensi dan besaran gaji memang disesuaikan dengan standar umum yang berlaku dan tidak mempertimbangkan medan kerja para pendamping desa di lapangan. Namun dirinya akan mengakomodir semua masukan tersebut untuk dibawa ke tingkat pusat.
“Soal kontrak, sedang dipersiapkan rekruitmen secara nasional mulai April ini dan sifatnya terbuka bagi siapapun,” pungkas Muklis.(oji)/foto:naefurodji/parle/iw.