RUU PELAYANAN PUBLIK DIJADWALKAN MASUK TIMSIN MINGGU DEPAN
12-02-2009 /
LAIN-LAIN
Rancangan Undang-Undang tentang Pelayanan Publik dijadwalkan akan masuk pada Tim Sinkronisasi (Timsin) pada Kamis mendatang. Untuk itu Tim Ahli Pemerintah dengan Tim Ahli DPR RI diminta bekerjasama untuk menyempurnakan pasal-pasal dalam RUU tersebut.
Demikian disampaikan Ketua Pansus RUU tentang Pelayanan Publik Sayuti Asyathri (F-PAN) pada Rapat Tim Perumus dengan Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, Kamis (12/2) di gedung DPR RI.
Rapat Timus pagi itu berhasil menyelesaikan Pasal 49 mengenai Proses Pemeriksaan, Pasal 52 mengenai Ketentuan Sanksi hingga pembahasan Pasal 55 dapat disetujui Tim Perumus.
Pembahasan Pasal 50 berjalan cukup alot, karena adanya perbedaan pendapat terhadap ayat (2) yang berbunyi, kewajiban menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak gugur setelah penyelenggara berhenti atau diberhentikan dari jabatannya.
Sayuti menginginkan antara pelaksana dengan penyelenggara harus dibedakan secara hirarki misalnya pelaksana itu menunjuk satuan kerja, sedang penyelenggara itu menunjuk pimpinannya.
Sementara Eddy Mihati (F-PDIP) mengatakan, kalau penyelenggara dibuat hirarki menurutnya tidak bisa, sebab masing-masing instansi mempunyai hirarki yang berbeda-beda.
Perdebatan Pasal 50 ini cukup menyita waktu, akhirnya disepakati Timus bahwa rumusan yang dimaksud dengan unsur penyelenggara diserahkan untuk dibuat pemerintah.
Sementara terhadap isi Pasal 49 ayat (3) yang berbunyi, dalam hal pengadu keberatan dipertemukan dengan pihak teradu karena alasan tertentu yang dapat mengancam atau merugikan kepentingan pengadu, dengar pendapat dapat dilakukan secara terpisah.
Terhadap bunyi Pasal tersebut anggota F-PPP Hadi Mulyo mengusulkan perlunya pendalaman. “Istilah dengar pendapat baru pertama kali kita dapat dalam rumusan ini, dan kata-kata ini menimbulkan perbedaan pemahaman,†katanya.
Akhirnya disepakati perlunya penjelasan bahwa yang dimaksud dengar pendapat dapat dilakukan secara terpisah adalah satu forum pertemuan antara pengadu dengan teradu secara terbatas atas permintaan pengadu karena alasan tertentu yang dapat mengancam.
Pada kesempatan tersebut Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) mengusulkan secara tertulis rumusan pasal mengenai kewenangan yang dimiliki oleh Ombudsman (Pasal 46 ayat 2).
Usulan tersebut berbunyi, Ombudsman dan/atau lembaga lainnya yang dibentuk di setiap tingkatan bertugas menerima, memeriksa, dan memutuskan sengketa pelayanan publik di daerah dan pusat melalui mediasi dan/atau ajudikasi non-litigasi.
MP3 melihat adanya keuntungan menggunakan lembaga yang menyelesaikan pengaduan/sengketa pelayanan publik di luar peradilan yaitu selain cepat dan murah, kontrol para pihak terhadap proses dan hasil, dapat menyelesaikan sengketa secara tuntas dan meningkatkan kualitas keputusan yang dihasilkan dan kemauan para pihak untuk menerimanya.
Menurutnya, banyaknya kasus-kasus pelayanan publik yang terjadi di Indonesia, terutama pada tingkatan daerah, menuntut lembaga yang memiliki tugas sebagai pengawas pelayanan publik untuk dapat menyelesaikan setiap laporan pengaduan yang diterimanya secara cepat, tepat, murah dan tuntas.
Terhadap masalah ajudikasi ini, Timus memberikan alternatif pertama, dibentuk lembaga penyelesaian sengketa pelayanan publik non litigasi di daerah yang membantu menyelesaikan masalah di tingkat daerah dan diminta kepada daerah diintegrasikan dengan organisasi Pemda.
Ke dua, di dalam merumuskan non litigasi ini pemerintah diminta untuk merujuk pada UU Arbitrase dan UU Kebebasan Memperoleh Informasi dan UU yang terkait lainnya.
Pemerintah diminta untuk meneliti dan mengkaji keterkaitannya dengan semua peraturan yang sudah ada dan UU Ombudsman khususnya tentang pembentukan Ombudsman di daerah dan lembaga penyelesaian non litigasi. (tt)