Daya Beli Masyarakat Didistorsi
06-10-2017 /
KOMISI XI
Klaim pemerintah yang menyatakan daya beli masyarakat mengalami kenaikan, dikritik legislator DPR RI. Telah terjadi distorsi pada daya beli masyarakat, karena faktanya berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2017 hanya 5,01 persen, turun dari periode yang sama pada 2016 sebesar 5,18 persen.
“Penurunan itu ditandai oleh penurunan konsumsi rumah tangga yang menjadi indikator untuk mengukur daya beli.” Demikian dikemukakan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam rilisnya yang diterima Parlementaria, Jumat (6/10/2017). Konsumsi rumah tangga kuartal II 2017 hanya mencapai 4,95 persen atau hanya naik tipis dibandingkan kuartal I 4,94 persen. Perlambatan juga terlihat dari konsumsi rumah tangga pada kuartal II tahun lalu yang mencapai 5,07 persen.
“Kesimpulannya, terjadi distorsi pada daya beli masyarakat. Itu tak bisa dibantah. Dan atas hal tersebut, pemerintah jangan tiba-tiba menjawabnya dengan enteng bahwa hal tersebut adalah politisasi. Pemerintah mestinya lebih peka dan tidak antikritik,” tandas Anggota F-Gerindra DPR itu. Fakta yang diungkap Heri ini sekaligus mengkanter klaim pemerintah seputar naiknya daya beli masyarakat. Yang jelas konsumsi rumah tangga sedang mengalami perlambatan.
Artinya, sambung Heri, daya beli kita memang sedang terdistorsi. Soal shifting dari offline ke online tak bisa jadi pegangan. Sementara itu, survei keyakinan masyarakat terhadap ekonomi menunjukkan pelemahan sejak Mei 2017. Terakhir, September 2017 menurun 0,3 poin dari angka Agustus 2017. Pelemahan itu disebabkan oleh penurunan indeks penghasilan.
“Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membeberkan keluhan sepinya gerai para anggotanya. Sebagai misal, PT. Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) yang sepanjang Semester I/2017 mengalami penurunan laba bersih hingga 71,03 persen dari periode yang sama tahun lalu, atau dari Rp105,5 miliar menjadi Rp30,5 miliar. Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah penurunan daya beli masyarakat,” terang Heri lebih konkret.
Ditambahkan politisi dari dapil Jabar IV ini, selama Januari-Juli 2017 penjualan sepeda motor merosot sebesar 13,1 persen. Pada Juni 2017 malah turun 30 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Bahkan, Gabungan Pengusaha Makanan Dan Minuman Indonesia (GAPMMI) tegas menyatakan bahwa daya beli masyarakat turun 10 persen dibanding tahun lalu.
“Lesunya transaksi jual beli pun dirasakan juga oleh warung-warung kopi dengan segmen pasar anak-anak muda. Kalangan remaja dan pemuda kelas menengah bawah memiliki batas kemampuan beli yang merosot, bahkan hanya untuk menikmati kopi. Uang jajan ekstra yang dulunya bisa Rp 35.000-50.000 di kantong, kini tidak ada lagi,” ujarnya.
Bukti lain adalah penjualan yang menurun di masa jelang hari raya lalu di pusat perbelanjaan tekstil Tanah Abang, Jakarta Pusat. Penjualan rata-rata pedagang Tanah Abang diprediksi melorot sampai 30 persen dibanding tahun lalu. Kemerosotan 50-70 persen dikabarkan terjadi merata di Blok A, B, dan F.
“Penurunan daya beli jangan dianggap sepele. Melemahnya daya beli tidak tertutup kemungkinan karena arah kebijakan ekonomi yang belum mampu menciptakan trikcle down effect. Semua masih didominasi oleh sektor finansial tak langsung. Sektor-sektor produktif masih loyo. Itu semua adalah fakta yang tak mungkin bisa berbohong,” tutup Heri. (mh,mp) foto: andri/and