KOMISI VIII DPR SETUJUI PROGRAM KEMENTERIAN PP DAN PA
Komisi VIII DPR menyetujui program kerja Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap berbagai permasalahan di bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) dengan memperhatikan beberapa catatan, antara lain menguatkan program pemberdayaan perempuan, menguatkan koordinasi lintas sektoral, dan mengupayakan penguatan perlindungan anak berhadapan dengan hukum melalui pemisahan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak dan Lapas Dewasa.
Demikian salah satu kesimpulan disampaikan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Chairunnisa (F-PG) saat memimpin Rapat Kerja dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar, di Gedung Nusantara II, Kamis (22/7).
“Karena ini masih terjadi di tiga provinsi seperti di Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Maluku dan Provinsi Jambi saat Komisi VIII melakukan kunjungan kerja pada reses yang lalu,” jelas Chairunnisa.
Selain itu, lanjut Chairunnisa, DPR juga menyetujui hasil laporan realisasi Anggaran Belanja Negara 2010 Semester I Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Oleh karena itu, Komisi VIII meminta kepada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak agar penyelesaian realisasi anggaran lebih ditingkatkan dan dilaksanakan secara proporsional, ujarnya.
Chairunnisa menambahkan, dalam hal ini Komisi VIII telah bersepakat untuk mengupayakan peningkatan anggaran Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2011.
Sementara itu, anggota Komisi VIII Farida dari F-PD meminta hal serupa kepada pemerintah untuk menindaklanjuti dalam PP dan PA. “Bagaimana tindaklanjut pemerintah dalam rencana kerja yang panjang untuk tahun 2010-2011 dalam mengembangkan PP dan PA,” tanya Farida.
Hal senada juga disampaikan Herlini Amran dari F-PKS, yang mempertanyakan bagaimana rencana kerja untuk program PP dan PA.
Menanggapi hal tersebut Menteri PP dan PA, Linda Amalia Sari Gumelar, mengatakan bahwa ada beberapa permasahan yang dihadapi ke tiga provinsi tersebut. Masalah yang dihadapi, jelas Linda, pertama, komitmen yang belum kuat oleh pemerintah daerah dalam pembangunan pengutamaan gender PP dan PA. Kedua, masih belum memadainya kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang menangani program PP dan PA. Ketiga, masih rendahnya anggaran di unit kerja PP dan PA. Keempat, masih lemahnya unit kerja PP dan PA dalam koordinasi lintas sektoral. Kelima, belum adanya atau kuatnya regulasi yang mendukung pelaksanaan program PP dan PA. Keenam, belum tersedianya atau berfungsinya tata terpilah menurut jenis kelamin.
Dari permasalahan tersebut, lanjutnya, dapat dikelompokan pada bidang salah satunya adalah kesetaraan gender dan PP diberbagai daerah. “Hasil evaluasi pelaksanaan Pengaruh Utaman Gender (PUG) memperingatkan satu sisi adanya pergeseran pendekatan dari sentralistrik kepada desentralistik otonomi daerah. Ternyata menjadi kesempatan dan peluang bagi daerah untuk melakukan kegiatan pembangunan termasuk pelaksanaan PUG yang lebih sesuai dengan keadaan beserta aspirasi daerah.
Kaitannya pelaksanaan PUG di daerah ada dua critical issues yang perlu dicermati, kata Linda. Yaitu, bagaimana meningkatkan SDM dan kapasitas lembaga berkaitan dengan pengaruh sesama gender dan bagaimana kesepakatan Perda dalam pentingnya melaksanakan PUG. Yang dianggap penting masih kurang pemahaman konsep gender, lanjutnya.
Ada beberapa rencana untuk menangani masalah ini, kata Linda. Pertama, memperkuat dukungan politik dalam mempercepat terwujudnya sasaran gender dan perlindungan anak dengan lembaga eksekutif dan legislatif daerah. Kedua, meninjau ulang dan perbaharui piranti legal secara berkala yang ada dan terkait PUG, PP dan PA disesuaikan dengan kondisi daerah saat ini. Ketiga, mengembangkan sosialisasi, advokasi dan KIE yang memuat issue gender yang spesifik untuk masing-masing sektor. Keempat, memperkuat kelembagaan PUG, ungkapnya. (iw/if)