Merak-Bakauheni Kekurangan Dermaga
Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono. Foto : Andri/Man
Pemerintah dinilai tak mampu sediakan infrastruktur dermaga Merak-Bakauheni dengan baik. Padahal, ini penyeberangan tersibuk di Indonesia. Masyarakat pun dirugikan. Sekita 60 persen kapal ferry di lintasan ini menganggur akibat kekurangan dermaga.
Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menyampaikan itu dalam rilisnya kepada Parlementaria, Senin (22/1/2018). “Pemerintah tidak bisa mengatur lintas Merak-Bakauheni, bahkan membiarkan persaingan tidak sehat terus berlangsung di penyeberangan tersibuk di Indonesia itu, sehingga merugikan masyarakat. Kondisi Merak-Bakauheni kini makin memprihatinkan, karena sekitar 60 persen kapal ferry menganggur akibat kekurangan dermaga,” ungkapnya.
Menurut politisi Partai Gerindra itu, pemerintah layak disalahkan karena tidak sanggup menyediakan infrastruktur dengan baik. Ada sekitar 68 kapal ferry di lintasan Merak-Bakauheni. Sementara dermaga yang tersedia hanya enam pasang. Dan hampir semua dermaga kapasitasnya di bawah 4.000 GRT (Gross Registered Tonnage). Padahal, di sana banyak kapal berukuran lebih dari 10.000 GRT.
Bahkan, ungkap Bambang, banyak fender dermaga di sana ambruk karena tidak kuat menahan kapal besar. Ada juga kapal-kapal karatan tetapi tetap diizinkan berlayar. Ini cermin tidak adanya konsep pelayanan dan keselamatan yang baik. Tentu ini jadi keprihatinan sendiri. “Kalau keselamatan dikorbankan, ketersediaan kapasitas juga terdampak, karena kapal banyak yang mogok. Perusahaan terpaksa minta kenaikan tarif sebab tidak bisa bertahan hidup dengan kondisi kapal yang beroperasi hanya 30-40 persen,” tandas Bambang.
Bila kondisi seperti ini terus dibiarkan, maka banyak kapal angkut yang menganggur dan tarif semakin mahal. Pasalnya, jelas Bambang, meski kapal menganggur, ia harus tetap membayar biaya kru dan operasional lainnya. Apalagi, genset yang digunakan kapal harus tetap menyala dan itu menyerap anggaran yang tidak sedikit. “Rakyat akan marah sebab solar kapal itu disubsidi dari pajak,” ujar politisi dari dapil Jatim I ini.
Semua masalah ini bermula dari kebijakan perubahan ukuran kapal di Merak-Bakauheni menjadi minimal 5.000 GRT, seperti diatur dalam Peraturan Menteri No.88/2014 tentang Pengaturan Ukuran Kapal Angkutan Penyeberangan di lintas Merak-Bakauheni. Kebijakan ini dinilai Bambang tidak bijak dan berbahaya. Dikemukakannya, masa sepi penumpang (low seasons) di Merak-Bakauheni kini lebih banyak, sekitar 60-70 persen.
Ditambhkannya, ketika masa sepi penumpang kapal kecil (3.000 GRT) dibutuhkan. Tapi, ketika ramai penumpang kapal besar berperan. Tapi, kapal besar butuh bahan bakar yang juga besar. Di sinilah dalam pandangan Bambang, lebih baik menambah dermaga daripada menambah kapal besar.
“Investasi kapal jauh lebih mahal daripada membangun dermaga. Tambahan sepasang dermaga bisa untuk enam kapal. Idealnya ada 12 pasang dermaga di Merak-Bakauheni supaya semua kapal yang nganggur itu bisa beroperasi,” paparnya. (mh/sc)