Legislator Apresiasi Aturan untuk Jaga Netralitas ASN
Anggota Komisi II DPR RI Achmad Baidowi foto : Runi/mr.
Anggota Komisi II DPR RI Achmad Baidowi mengapresiasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) yang mengeluarkan aturan untuk menjaga netralitas bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang pasangannya maju dalam pemilihan umum, khususnya Pilkada Serentak 2018 yang tinggal menghitung bulan.
“Saya kira ini aturan ini merupakan bagian untuk menciptakan objektivitas ASN dalam pelaksanaan pilkada daerah,” ungkap politisi dari Fraksi PPP ini di sela-sela Rapat Kerja Komisi II dengan Menpan RB Asman Abnur di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (6/2/2018).
Ia menambahkan, masyarakat tidak perlu merisaukan netralitas ASN karena pasangannya maju dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Sebab, sanksi atas pelanggaran bagi ASN sudah jelas tertuang dalam Surat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) tanggal 02 Februari 2018 tentang Ketentuan bagi ASN yang Suami atau Istrinya Menjadi Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Calon Legislatif, dan Calon Presiden/Wakil Presiden.
Berdasarkan ketentuan tersebut, ASN yang pasangannya menjadi Paslon diperbolehkan foto bersama Paslon. Namun tidak diperbolehkan mengikuti simbol tangan atau gerakan dipergunakan sebagai bentuk keberpihakan.
Selain itu, bagi ASN yang akan mendampingi pasanganya dalam berkampanye diwajibkan mengambil Cuti di Luar Tanggungan Negara (CLTN). Hal ini diperlukan untuk menghindari fasilitas jabatan/negara serta mencegah adanya keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu paslon.
“Sementara kalau ada dugaan ASN menguntungkan incumbent, saya kira tidak juga. Memang ada incumbent yang menang, tapi banyak juga incumbent yang kalah. Artinya, kekhawatiran netralitas ASN bisa terbantahkan disini,” imbuh Baidowi.
Sementara terkait dengan TNI atau Polri aktif, politisi asal dapil Jawa Timur sudah jelas dalam UU Kepolisian dan UU TNI melarang aktivitas politik bagi anggota yang aktif.
“Kalau kemudian keluarganya, boleh saja kan masih punya hak sipil. Misalkan, seorang istri polisi atau TNI seorang ibu rumah tangga mau ikut partai politik mana, ya terserah. Karena dia tidak diatur oleh ketentuan perundang-undangan. Hanya persoalan etika saja, pantas atau tidaknya,” pungkasnya. (ann/sf)