Tabung Gas Perlu Audit dan Verifikasi Menyeluruh
Kalangan anggota Komisi VII menilai tabung gas 3 kg yang beredar perlu dilakukan audit dan verifikasi tehnologi menyeluruh. Penilaian ini dikemukakan saat panja Komisi VII untuk tabung gas rapat dengar pendapat dengan Dirjen Industri Logam Tekstil, Aneka Kemenperin dan Deputi II bidang Produksi Kemenegkop UKM di gedung Nusantara DPR, Jakarta, Senin (4/10/2010)
“Pemicu ledakan tabung gas sangat komplek dari berbagai aspek dan melibatkan banyak pihak. Karena itu, perlu adanya audit tehnologi dan verifikasi tehnologi untuk semua tabung yang beredar secara keseluruhan,” tegas Anggota Komisi VII Sutan Sukartono (Fraksi PD)
Bahkan lanjutnya menegaskan meskipun sebagian besar produk tersebut mempunyai standar SNI, namun fakta dilapangan banyak yang tidak sempurna. Hal itu disinyalir karena pemerintah tidak membatasi jumlah perusahaan yang memproduksi tabung tersebut.
“Walaupun beberapa sudah menerapkan SNI, tapi hasil produksinya masih banyak kurang sempurna, karena ada pabrik dan bengkel kecil-kecil, yang ikut bermain. Pemerintah tidak melarang bengkel dan pengusaha-pengusaha kecil itu,” tukasnya.
Soekartono berpendapat, terjadinya ledakan tabung gas itu disebabkan beberapa faktor, diantaranya faktor tehnologi, faktor human error (kesalahan manusia), faktor moral, serta faktor birokrat.
lebih lanjut ia menjelaskan, dari faktor tehnologi, semua permasalahan tabung gas, harusnya diserahkan kepada ahlinya. “Untuk human error, memang sifat masyarakat kita yang tidak peduli, kurang kritis seperti tidak teliti dalam memasang selang. Asal pasang saja,” tukasnya
Sedangkan dari faktor moral, memang kondisi masyarakat indonesia yang terkesan sedang krisis moral. Ia mencontohkan, sewaktu masyarakat diberikan tabung secara cuma-cuma oleh Pemerintah, karena masih ada minyak tanah, lalu tabung itu dijual, setelah minyak tanah tidak ada dipasaran mereka berteriak, dari sisi pengusaha tidak sedikit oknum yang melakukan pengoplosan
Sementara untuk kesalahan dari sisi birokrat, ia menilai, sewaktu program konversi minyak tanah ke gas elpiji 3 kg diluncurkan, tabung dan assesoris pendukungnya belum siap, untuk mengejar kesiapan itu, diserahkan kepada bengkel-bengkel kecil, sebagian yang rusak oleh pertamina dikembalikan, namun oleh mereka setelah diperbaiki dijual bebas kepasaran termasuk dijual kepada mereka yang tidak berhak, seperti restoran.
“Memang pertamina mengakui kurangnya sosialisasi, tapi memang kondisi masyarakat kita yang seperti itu,” katanya menegaskan. (sw)