UUPA Nomor 5 Tahun 1960 Bisa Diamandemen
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron pimpin RDPU dengan Pakar. Foto: Naefuroji/od
Selama ini ada pemahaman bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjadi penghambat investasi, sehingga harus diganti. Ada juga yang mengatakan bahwa UUPA itu sakral, sehingga tidak boleh diganti. Sebab regulasi ini tidak bisa dipersamakan dengan UU apapun yang ada, karena memiliki nilai historis yang berbeda. Namun secara prinsip, UUPA bisa diamandemen.
Demikian hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI dengan para pakar hukum pertanahan. Pada kesempatan tersebut, para pakar yang diundang untuk memberikan tambahan pembekalan wawasan bagi Komisi II DPR RI guna melengkapi pembahasan RUU Pertanahan antara lain adalah Profesor Arie Sukanti Hutagalung (UI), Profesor Ida Nurlinda (Unpad), dan Profesor Budi Mulyanto (IPB).
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Herman Khaeron selaku pimpinan rapat mengatakan bahwa semua masukan-masukan yang disampaikan tersebut akan melengkapi pembahasan Komisi II DPR RI dengan pemerintah. “Mudah-mudahan ini membawa manfaat bagi kita semua,” kata Herman di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (03/10/2018).
Dalam paparannya, Profesor Ida Nurlinda menyatakan kalau Undang-Undang Dasar 1945 saja bisa diamandemen, lalu kenapa UUPA tidak bisa diutak-atik. “Tetapi kalau boleh saya berpendapat, Pasal 1 sampai dengan Pasal 15 jangan diamandemen, karena itu adalah prinsip asas. Jadi kalau ingin diubah maka mulai dari pasal 16 ke selanjutnya,” ucap Ida.
Sementara itu, Profesor Budi Mulyanto menyampaikan bahwa semangat populis UUPA mulai direduksi menjadi semangat investasi, seiring dengan munculnya undang-undang penanaman modal yang dianggap tidak mengkonsideran UUPA.
Profesor Budi menambahkan, ada paradigma terkait pembuatan undang-undang tentang tanah atau sumber daya alam, yakni ada penguasaan kepemilikan, dan penggunaan pemanfaatan. Oleh karenanya, ia menyatakan perlu adanya pemahaman yang lebih komprehensif terkait hal tersebut. (dep/sf)