Jumlah Pengangguran DI Yogyakarta Kontradiktif dengan IPM
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Marwan Cik Asan bersama tim Kunjungan Kerja Reses melakukan pertemuan dengan jajaran mitra kerja.di Provinsi DI Yogyakarta.Foto :Guntur/rni
Pemaparan Bank Indonesia (BI) dan Badan Pusat Statistik (BPS) kepada Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi XI DPR RI memperlihatkan adanya anomali tersendiri pada tingkat pengangguran dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Marwan Cik Asan melihat ada kondisi kontradiktif dari indikator-indiaktor itu.
Sebagaimana dipaparkan, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) DI Yogyakarta cukup tinggi. Per Februari 2018 sebesar 3,06 persen, Sedangkan angka nasional berkisar di angka 5,13 persen. Sementara Gini Ratio di DI Yogyakarta per Maret 2017 juga tinggi ketimpangannya sebesar 0,432 persen. Dan untuk IPM, DI Yogyakarta mendapat Ranking 1 dengan indeks 74,74 persen, yang dipengaruhi aspek kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
“Perlu ada terobosan-terobosan dari BPS untuk menjelaskan parameter ukuran anomali tersebut tanpa menghilangkan kaidah statistik, karena ini berlaku secara nasional,” kata Marwan saat pertemuan Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi XI DPR RI dengan BI, BPS, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Perbankan Daerah seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, BPD DI Yogyakarta, Jasindo, Bulog, Perbarindo, dan Pemprov DI Yogyakarta, Kamis (01/11/2018).
Legislator Partai Demokrat ini mendorong agar pemerintah daerah, pemerintah pusat bersama BI segera mencari titik temu dari kearifan lokal ini tentang tingginya kemiskinan, tingginya IPM, dan tingginya Gini Ratio di DI Yogyakarta ini. “Ini perlu segera adanya kajian yang lebih dalam, supaya polemik tentang benarkah DI Yogyakarta sedemikian besar miskinnya bisa terselesaikan,” tandas legislator dapil Lampung itu.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI Lena Mariana Mukti menekankan pentingnya program padat karya dan pendampingan kepada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai pondasi pengentasan kemiskinan. Apalagi, karakteristik perekonomian DI Yogyakarta yang ditopang sektor UMKM mencapai 98,4 persen dari populasi perusahaan di DI Yogyakarta, kemudian disusul sektor pariwisata.
“UMKM inilah yang membantu menyelamatkan perekonomian Indonesia dari krisis 1998. UMKM adalah penopang ekonomi pada masa krisis, perlu adanya program program penguatan UMKM yang jelas. Namun sektor pariwisata DI Yogyakarta juga jangan ditinggalkan,” imbuh legislator Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini. (gd/sf)