Masalah Strategic Purchasing BPJS Perlu Dipikirkan Bersama
Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Efendi (tengah) saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX DPR RI dengan beberapa stakeholder mitra kerja Komisi IX DPR RI mengenai masalah BPJS Kesehatan.di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (27/11/2018). Foto : Andri/Man
Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi IX DPR RI dengan beberapa stakeholder mitra kerja Komisi IX DPR RI menyoroti mengenai permasalahan BPJS Kesehatan. Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Efendi mengatakan bahwa ada beberapa masukan terkait strategic purchasing BPJS Kesehatan yang perlu dipikirkan secara bersama-sama.
“Selama ini pembelian obat itu dilakukan oleh faskes (fasilitas kesehatan) atau oleh rumah sakit. Dan ketika rumah sakit membeli, ternyata baru 6 persen dari total tagihan yang terbayarkan. Saya tanya ke BPJS, dan pihak BPJS mengatakan bahwa BPJS tidak membeli obat, tetapi faskes,” kata Dede di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (27/11/2018).
Oleh karenanya, lanjut Dede, mungkin ke depannya perlu juga dipikirkan bahwa slot pembayaran yang dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), dimana 60 persen untuk jasa, sedangkan 40 persen untuk alat kesehatan (alkes) dan obat. Sehingga hal ini bisa berimbang.
Legislator Partai Demokrat itu mengatakan, kalau BPJS Kesehatan diberikan kesempatan sebagai strategic purchasing, maka obat bisa menjadi tanggungjawab BPJS, sehingga suplai obat bisa dilakukan oleh BPJS. Selain itu, dalam rapat tersebut juga dibahas beberapa poin, diantaranya adalah mengenai layanan obat.
Untuk poin layanan obat tersebut, Dede memberikan kesempatan kepada perwakilan rumah sakit, dokter, Dinas Kesehatan, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dan PT. Farmasi untuk berbicara mengenai pelayanan obat tersebut. Utamanya mengenai seperti apa yang modul struktur yang akan dicari ke depannya.
Sebelumnya, legislator dapil Jawa Barat itu juga menyampaikan hal yang terkait dengan masalah rawat jalan, dimana masalah rawat jalan itu ternyata mengambil persentase sebesar 78 persen untuk kunjungan bolak-balik seorang pasien ke rumah sakit. “Mungkin hal itu juga yang menyedot dana,” ucapnya. (dep/sf)