DPR Minta Uang Jaminan Listrik Juga Di Audit
Besarnya jumlah nominal uang jaminan listrik, Anggota Panja Listrik Komisi VII, Daryatmo mardianto meminta agar BPK juga mengauadit uang tersebut. Permintaan ini disampaikan saat Komisi VII DPR mengadakan pertemuan di Gedung BPK, Selasa (18/01)
Pada rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi Effendi Simbolon (Fraksi PDI Perjuangan) itu, Daryatmo mengingatkan, uang tersebut sudah dipungut selama berpuluh-puluh tahun, sejak tahun 1940 silam, sehingga akumulasinya sudah cukup besar. Tidak hanya saat pemasangan tarif, tapi juga ketika pelanggan hendak menambah jumlah watt. Saat ini kata dia, uang tersebut sudah mencapai Rp. 6triliun
Daryatmo menegaskan, uang jaminan ini bukan merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) namun oleh PLN uang tersebut telah diinvestasikan. “PLN menginvestasikan uang ini kemana, atas dasar apa, izinnya kepada siapa. Lalu selama ini disimpan dalam rekeningnya atas nama siapa,” tandasnya
Sebagai uang rakyat, bila uang tersebut dipergunakan untuk investasi, maka PLN wajib meminta izin kepada rakyat atau minimal kepada wakil rakyat. Karena itu, ia meminta PLN dapat mempertanggungjawabkan keberadaan serta peruntukkan uang dimaksut
Usulan ini mendapat dukungan dari Anggota Panja Komisi VII lainnya Azwir Dainy Tara (Fraksi PG). Menurutnya pasca bencana gempa dan bencana banjir, masyarakat korban tidak lagi menggunakan listrik, harusnya uang jaminan yang sudah mereka bayarkan itu, dikembalikan oleh PLN
Selain itu, kata Azwir, selama ini dengan nomimal yang cukup tinggi pasti PLN mendapatkan bunga dari uang tersebut. “Lalu bagaimana dengan hasil bunganya, PLN pergunakan untuk apa, bagaimana PLN mempertanggungjawabkannya,” tanya Azwir
Menanggapi pernyataan itu, Auditor Utama Keuangan Negara VII BPK Ilya Avianti menyatakan BPK akan melakukan audit investigasi terhadap PLN secara menyeluruh, termasuk mengenai uang jaminan pelanggan.
Ilya mengatakan BPK sepakat menilai PLN selama ini tidak transparan. Tahun 2009, uang jaminan ini sudah menjadi temuan bagi BPK sebesar Rp 5,9triliun dan memang tidak boleh diinvestasikan. (sw)