DIPERLUKAN POLISI KHUSUS PANTAU MAKANAN
Anggota Komisi IX DPR Subagyo Partodiharjo (F-PD) mengatakan, perlunya polisi khusus (Polsus) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI untuk memantau makanan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat mengingat semakin maraknya makanan yang mengandung zat berbahaya yang dapat mengancam kesehatan warga. Pendapat itu mengemuka saat Rapat Dengar Pendapat Komisi IX dengan Kepala BPOM Kustantinah di Gedung Nusantara I DPR Jakarta, Kamis (27/1).
“BPOM perlu mengadakan semacam polisi khusus untuk memantau makanan serta kandungan zat yang ada di dalamnya. Ini penting karena akhir – akhir marak terjadi makanan siap konsumsi (snack) yang mengandung bahan kimia berbahaya seperti formalin. Institusi lain saja ada Polsus, BPOM juga perlu. Ini menyangkut langsung pada kesehatan”, kata Subagyo.
Ia menambahkan, BPOM juga harus cermat dalam mengawasi jajanan anak – anak usia SD. Bahan kimia seperti Rhodamin B dan Metanil yang banyak terdapat pada jajanan anak – anak dikhawatirkan Subagyo dapat mengancam kesehatan mereka di kemudian hari.
“Makanan dan minuman yang biasa dibeli anak – anak selayaknya juga diawasi. Dalam makanan itu ada zat kimia berbahaya yang dapat merusak kesehatan anak – anak kita jika mereka sudah dewasa nanti. Mau jadi apa bangsa ini jika penerus bangsanya sakit karena makanan?”, tukasnya.
Sementara, Muhammad Iqbal (F-PPP), secara khusus menyoroti kesiapan Indonesia menghadapi persaingan produk obat dan kosmetik dalam Asean Cosmetic Directive (ACD). Ia mempertanyakan pengawasan BPOM terhadap obat dan kosmetika yang masuk ke dalam negeri. Menurutnya, belum saatnya bagi Indonesia untuk menghadapi persaingan di lingkup Asean itu karena Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas.
“Ini menyambut pasar tunggal Asia Tenggara. Nantinya akan banyak obat dan kosmetika luar negeri yang masuk ke Indonesia. Yang menjadi permasalahan adalah, bagaimana pengawasannya? Apakah BPOM sudah melakukan sosialisasi tentang penerapan yang digunakannya?”, ujar Iqbal.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hernani Hurustiati (F-Golkar). Pengkajian terhadap produk – produk luar negeri yang masuk ke Indonesia mutlak dilakukan demi melindungi konsumen dari bahaya zat kimia berbahaya. Ia juga mempertanyakan kerja sama lintas departemen antara BPOM RI dengan instansi terkait lainnya.
“Lembaga Pengawas Obat dan Makanan Nahdatul Ulama Indonesia (LPOM NUI) dijadikan rujukan standarisasi halal atau tidaknya suatu produk. Ini menunjukkan keseriusan lembaga ini dalam mengawasi makanan. Apakah BPOM sudah mengadakan kerja sama dengan mereka?”, imbuhnya.
Menanggapi berbagai masukan serta kritikan tersebut, Kustantinah mengatakan rendahnya putusan yang dijatuhkan kepada para pelanggar hukum tindak pidana bidang obat – obatan dan makanan merupakan salah satu penyebab tidak efektifnya upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh BPOM.
“Kami membutuhkan dukungan dari anggota dewan khusunya Komisi IX agar BPOM memiliki payung hukum yang jelas sehingga BPOM memiliki wewenang jika terjadi pelanggaran di bidang obat – obatan dan makanan”, jelas Kustantinah.
Belum adanya kesepahaman dengan aparat penegak hukum tentang tindak pidana bidang obat dan makanan, walaupun secara rutin BPOM telah menyelenggarakan forum koordinasi dengan aparat penegak hukum, menjadi salah satu kendala yang kerap dihadapi para penyidik BPOM di lapangan.
“Putusan hukum yang dijatuhkan tidak memiliki efek jera dan tidak sebanding dengan insentif ekonomi serta keuntungan financial yang didapatkan para pelanggar hukum. Hal ini mengakibatkan pelanggaran berulang dan bahkan menjadi contoh bagi para pelanggar hukum yang lain”, terang Kustantinah. (da/sc)