KOMISI V MINTA MASUKAN INSA DAN IPA TERKAIT REVISI UU PELAYARAN
Komisi V DPR RI meminta masukan Indonesian National Shipowners Association (INSA) dan Indonesian Petroleum Association (IPA) terkait dengan usulan Pemerintah untuk merevisi UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Masukan-masukan ini sangat berharga untuk menentukan sikap apakah UU tersebut perlu dilakukan revisi atau tidak.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi V DPR Muhidin M. Said saat rapat dengar pendapat umum dengan Ketua Umum INSA dan jajaran Indonesian Petroleum Association, Kamis (3/3) di gedung DPR.
Dalam rapat yang dipimpinnya, Muhidin mengatakan usulan untuk merevisi UU Pelayaran ini memang mendapat pro dan kontra dari berbagai pemangku kepentingan. Untuk itu, Komisi V perlu mendapatkan data yang valid dari berbagai sumber yang berkepentingan, agar bisa mengambil keputusan yang tepat atas usulan pemerintah tersebut.
Senada dengan itu, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional A. Taufan Tiro mengatakan, usulan untuk merevisi UU ini sangat erat kaitannya dengan salah satu pasal dalam UU tersebut dimana asas cabotage diberlakukan secara keseluruhan.
Pemerintah memandang perlu dilakukan revisi karena penerapan UU tersebut tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di perairan/lepas pantai, karena belum tersedianya atau belum cukup tersedianya kapal-kapal penunjang operasi migas berbendera Indonesia.
Atas keterangan yang disampaikan Dirjen Minyak dan Gas Bumi ini, Taufan menanyakan sejauh mana kesiapan INSA dalam menyediakan kapal penunjang lepas pantai yang dikelompokkan dalan kelompok “C”.
Menurut Taufan, INSA perlu memberikan data yang akurat ketersediaan kapal-kapal jenis C ini, agar Komisi V DPR dapat mengambil keputusan yang arif, karena penerapan asas cabotage ini menyangkut kedaulatan negara yang harus diperjuangkan bagi kemajuan pelayaran nasional.
Pada kesempatan tersebut, Ketua Umum INSA Johnson W. Sutjipto mengatakan, program asas cabotage yang diprakarsai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 dan diperkuat dengan UU No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran telah berhasil dilaksanakan sepenuhnya sesuai dengan roadmap kecuali kapal penunjang lepas pantai kelompok C.
Asas cabotage dimaksudkan untuk memantapkan ketahanan nasional guna mendukung pertumbuhan ekonomi dan memperkukuh kedaulatan bangsa dengan mengutamakan pelayaran berbendera Indonesia.
Selama ini, kata Johnson, pelayaran nasional telah dapat menjalankan asas cabotage untuk kelompok A dan kelompok B (angkutan barang dan orang).
Menurutnya, kapal penunjang lepas pantai kelompok C yang berbendera asing dapat dikecualikan dari ketentuan umum UU 17/2008 Bab I pasal 1 butir 3 dan Bab 5 pasal 8 butir 2, selama belum tersedia kapal yang berbendera merah putih karena dalam operasinya, kapal-kapal kategori kelompok C tidak melakukan pemindahan penumpang maupun barang antar pulau maupun antar pelabuhan.
Mengingat hal tersebut di atas, dan untuk memenuhi kebutuhan kapal-kapal penunjang lepas pantai kelompok C, Pemerintah selaku Pembina industri pelayaran dapat menerbitkan ketentuan berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau media penunjang hukum lainnya tanpa harus melakukan revisi Undang-undang tentang Pelayaran. “Ini juga demi konsistensi hukum dan kedaulatan negara di mata asing,” katanya.
Johnson menambahkan, dengan dibuatnya Peraturan Pemerintah (PP) tanpa merubah Undang-undang Pelayaran, maka pelaksanaan asas cabotage tetap terjaga dan di lain pihak keinginan Pemerintah cq. BP Migas untuk memenuhi kebutuhan kapal penunjang offshore khusus kategori C dapat terpenuhi. (tt)