KOMISI IV DPR SETUJU ADA RIVISI TATA RUANG WILAYAH PROVINSI SUMBAR, KALTENG DAN SULTENG
Perubahan kawasan hutan harus diprioritaskan untuk kepentingan masyarakat setempat (adat) dan diharapkan lahan masyarakat tersebut setelah disetujui DPR tidak lagi diperjual belikan. Demikian yang dikatakan Ketua Komisi IV DPR Achmad Muqowam yang sekaligus memimpin rapat Dengar Pendapat dengan Kapolri,KPK dan BPN rapat dilakukan di gedung DPR Senayan, Senin (7/3) siang.
Ketua Rapat Achmad Muqowan menambahkan, untuk menghindari dominasi penguasaan lahan oleh pihak-pihak tertentu, yang pada achirnya masyarakat setempat tetap miskin dan menjadi buruh di kampungnya sendiri. Untuk itu Tim Panja RTRWP Kalimantan Tengah meminta Pemprov untuk memperhatikan hal ini dan membuat regulasi untuk melindungi hak atas tanah rakyatnya.
Achmad Muqowam juga mengatakan bahwa, hasil penelitian terpadu merekomendasikan perubahan kawasan hutan yang semula diusulkan seluas 301.165 hektar direkomendasikan oleh Tim terpadu menjadi seluas 166.036 hektar atau 53,53%. Setelah dilakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) perubahan peruntukan seluas 166.036 ha, yang berdampak penting, cakupan yang luas serta bernilai strategis seluas 49.195 ha, ini yang perlu mendapat persetujuan DPR.
Selain itu Pemerintah propinsi Sumatera barat mengusulkan adanya perubahan peruntukan dan perubahan kawasan hutan dalam revisi RTRWP seluas 2.264,405 ha, hasil Tim Terpadu merekomendasikan perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 131.455 ha, penambahan kawasan hutan dari areal penggunaan lain seluas 9.960 ha dan perubahan fungsi kawasan hutan seluas 151.830 ha, sehingga kawasan hutan provinsi Sumbar menjadi 2.342.651 ha.
Sementara itu, Yuswanda pejabat Badan Pertanahan Nasional mengatakan bahwa, rencana tata ruang wilayah adalah arahan dan pedoman penggunaan dan pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi. Ketentuan ini harus dilaksanakan secara konsisten oleh segenap sector atau stakholders yang terkait dalam penyelenggaraan pemanfaatan ruang. Pemenfaatan ruang yang menyimpang atau tidak sesuai dengan rencana dengan tata ruang yang telah ditetapkan tidak dapat dibenarkan.
Yuswanda juga menambahkan, Badan pertanahan Nsional dapat memahami usulan revisi rencana tata ruang di ketiga wilayah propinsi tersebut. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, bahwa semua peraturan daerah propinsi tentang rencana tata ruang wilayah propinsi perlu disusun atai disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak undang-undang tersebut diberlakukan.
Dia juga mengemukakan, revisi rencana tata ruang wilayah dapat berdampak kepada perubahan alokasi peruntukan dan pemanfaatan ruang dan dapat berdampak pula kepada perubahan fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan.
Dikatakan juga bahwa dalam kenyataannya, terdapat bagian tertentu kawasan hutan yang telah digunakan dan dimanfaatkan masyarakat, terutama masyarakat setempat, dengan berbagai ragam kegiatan budaya. Keberadaan masyarakat dan usaha budidayanya dapat saja telah berlangsung sebelum keputusan peruntukan kawasan hutan dan penetapan batas kawasannya.
Yuswanda berharap bahwa penyelesaian revisi rencana tata ruang wilayah di ketiga propinsi tersebut, mengingat rencana tata ruang wilayah menjadi dasar untuk peletakan kegiatan pembangunan, yang sangat terkait dengan tugas pokok dan fungsi di bidang pertanahan. Hal ini sejalan dengan amanat UU No.26 tahun 2007 tentang tata ruang. Terhambatnya legalisasi aset/kepastian hak atas tanah masyarakat berpotensi menimbulkan permasalahan social dan ekonomi di masyarakat, seperti ketidakpastian hukum dalam berusaha, dalam menggunakan dan dalam memanfaatkan tanahnya. (Spy)