Tenaga Pengawas K3 Yogyakarta Perlu Ditambah
Anggota Komisi IX DPR RI Syamsul Bachri. Foto: Azka/rni
Kondisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Daerah Istimewa Yogyakarta masih banyak menghadapi kendala, baik dari sudut pandang pengusaha, pekerja, maupun pemerintah. Terkait pengawasan, banyak perusahaan yang belum disiplin untuk memenuhi ketentuan yang diharuskan terhadap iklim kerja. Selain itu, banyak pekerja yang belum sadar akan pentingnya program K3, dan kurangnya tenaga pengawas terhadap perusahaan yang perlu diawasi.
Anggota Komisi IX DPR RI Syamsul Bachri menekankan, jumlah tenaga pengawas K3 di Yogyakarta harus ditambah. Mengingat jumlah ketersediaan pengawas untuk mengawasi perusahaan-perusahaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah tenaga pengawasnya. Hal itu ia ungkapkan setelah memimpin pertemuan Tim Kunspek Komisi IX DPR RI dengan Kepala Dinas Ketenagakerjaan Yogyakarta, Kepala Kanwil BPJS Ketenagakerjaan Yogyakarta, dan mitra kerja terkait, di kantor Dinas Ketenagakerjaan Yogyakarta, Selasa (10/9/2019).
“Untuk saat ini jumlah perusahaan yang diawasi oleh tenaga pengawas itu terbatas. Itu sebabnya, pihak (Dinas Ketenagakerjaan) ini perlu meningkatkan langkah-langkah sesuai dengan tupoksinya dengan memaksa mereka untuk bisa melakukan penambahan tenaga pengawas, agar program K3 berjalan dengan baik,” ungkap politisi Partai Golkar itu.
Legislator dapil Sulawesi Selatan II juga meminta kepada Kementerian Ketenagakerjaan untuk memberi perhatian sungguh-sungguh kepada Dinas Ketenagakerjaan di daerah, khususnya terkait proporsi keseimbangan antara yang diawasi dengan yang akan mengawasi. Karena untuk menambah tenaga pengawas membutuhkan anggaran yang tinggi.
Syamsul menambahkan bahwa ke depan perlu adanya evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. “Meskipun ada upaya-upaya untuk terus meningkatkan implementasi K3, masih banyak yang harus ditingkatkan di waktu-waktu yang akan datang. Oleh karena itu, landasan hukumnya perlu kita sempurnakan antara lain melalui evaluasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970,” tutupnya. (azk/sf)