BAKN Soroti SILPA Aceh Sebesar Rp 1 Triliun
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Ahmad Syaikhu. Foto: Nadya/rni
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI Ahmad Syaikhu, menyoroti peran Pemerintah Provinsi Aceh dalam merencanakan program Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang dirasa kurang efektif dalam pelaksanaannya, sehingga menyisakan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan (SILPA) hampir Rp 1 triliun pada tahun 2017 yang mengendap di kas daerah.
“Saya meminta Pemerintah Aceh untuk memperbaiki pelaksanaan penyerapan DOKA ini. Jangan sampai, terjadi seperti tahun 2017 di mana penyerapan DOKA tidak optimal yang hampir Rp 1 triliun menjadi SILPA. Hal ini sangat disayangkan karena akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Aceh,” katanya usai mengikuti pertemuan Tim Kunjungan Kerja BAKN DPR RI dengan Sekretaris Daerah Aceh beserta jajaran, di Kantor Gubernur Aceh, Banda Aceh, Rabu (20/11/2019).
Syaikhu menjelaskan, Provinsi Aceh sendiri telah menerima kucuran DOKA sejak tahun 2008. Secara kumulatif sampai dengan tahun 2019 DOKA yang telah dikucurkan berjumlah Rp 73,3 triliun. DOKA digunakan untuk membantu Pemerintah Aceh dalam upaya pembiayaan pembangunan dan pemerliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan masyarakat Aceh pasca konflik dan bencana.
Menurut politisi Fraksi PKS ini, realisasi DOKA yang baru dilakukan menjelang akhir tahun dapat menyulitkan dalam penyediaan barang dan jasa. Hal ini terbukti dengan adanya temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait pengadaan barang dengan spesifikasi tertentu yang sulit dipenuhi.
“Saya melihat inilah ke depan yang harus direncanakan dengan sebaik-baiknya oleh Pemprov Aceh, sehingga program otonomi khusus ini terencana dengan baik, pelaksanaannya juga sedemikian baik. Insya Allah dana yang besar ini akan mampu kemudian mengefektifkan untuk kaitan peningkatan pemberdayaan ekonomi yang diharapkan, di samping meningkatkan kesejahteraan, bagi warga masyarakat Aceh,” jelasnya.
DOKA untuk otonomi khusus saat ini mengalami break event, di mana menurut Syaikhu, Aceh pada tahun 2000 angka kemiskinan berada di 15 persen, kemudian meningkat hingga 32 persen karena konflik dan bencana alam, dan saat ini kembali di angka 15 persen. Oleh karenanya, ia mengimbau sampai akhir pendanaan DOKA di tahun 2027 nantinya, Pemprov Aceh harus mampu meningkatkan sesuai dengan perkembangan daerah dan provinsi lainnya.
“Itulah harapan kami, dan kalaupun misalnya sampai dengan 2027 masih belum bisa terlaksana, maka Pemerintah Provinsi Aceh perlu membuat skema exit-nya seperti apa. Agar perkembangan ekonomi di Aceh tidak tertinggal jauh dengan provinsi-provinsi lain di indonesia,” tutupnya sembari berharap pembahasan DOKA bagi Aceh perlu dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas), tentu saja bergantung pada keberlangsungan Aceh di masa mendatang. (ndy/es)