Standardisasi Produk Paling Tepat Untuk Industri Menengah
Anggota Komisi VI DPR RI Subardi. Foto : Kresno/mr
Anggota Komisi VI DPR RI Subardi menyatakan bahwa industri menengah merupakan fokus yang paling tepat untuk didorong Pemerintah melakukan standardisasi produk lokal agar dapat meningkatkan daya saing. Sebab industri menengah memiliki kesempatan lebih besar untuk maju dan memiliki produksi barang yang besar.
Hal tersebut ia ungkapkan dalam pertemuan Komisi VI DPR RI dengan akademisi dan praktisi dalam rangka pembahasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (11/12/2019). Politisi dapil DI Yogyakarta ini melihat fokus Pemerintah selama ini hanya kepada industri kecil saja.
“Yang paling tepat menurut saya adalah bagaimana yang menengah diprioritaskan untuk distandardisasi, karena yang memiliki kuantitas produk lebih banyak ya yang menengah. Kalau usaha kecil mau menjadi besar pasti lewat menengah dulu. Kalau menengah kita dorong sedikit saja maka mereka akan bisa bersaing secara kuat. Sehingga mendorong jauh lebih tinggi kepada daya saingnya akan lebih cepat,” ujarnya.
Politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini juga mendorong agar sinergi antara Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam mendorong Usaha Menengah diprioritaskan berlabel SNI dimasukkan ke pasal dalam revisi UU Nomor 20 Tahun 2014 tersebut, jika Pemerintah memang berniat meningkatkan daya saing.
“Kalau kita memiliki tujuan dasar tanpa adanya koordinasi dari minimum dari instansi tersebut, maka hal ini tak akan ada artinya, mustahil akan tercapai. Selama ini membenahi itu hanya akan menjadi sekedar syarat saja, gaya-gayaan Indonesia mau mulai SNI, tapi untuk daya saing tidak mampu karena taka da sinergi, berjalan sendiri-sendiri,” jelasnya.
Selama ini politisi yang akrab disapa Bardi ini melihat bahwa masyarakat dunia industri telah menjadi korban dari ketidakjelasan Pemerintah mengenai standardisasi produk ini. “Ketika mereka mau melakukan standardisasi costnya makin tinggi, ada peningkatan biaya. Maka lebih baik dia tidak standar nasional jika membuat sebuah produk,” tukasnya. (er/sf)