Legislator Minta Proses Pendaftaran Tanah Kedepankan Pendekatan Sosial
Anggota Komisi II DPR RI Imron Amin. Foto : Jaka/mr
Anggota Komisi II DPR RI Imron Amin meminta pihak Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Timur (Jatim) agar melakukan pendekatan sosial kepada masyarakat dalam hal pendaftaran sertifikat tanah, khususnya di wilayah Madura yang masih banyak warga yang buta huruf atau tidak bisa menulis dan membaca.
"Saya rasa untuk penyelenggara, khususnya panitia pembuat sertifikat tanah itu juga dijadikan suatu pertimbangan. Karena orang Madura tidak semuanya bisa baca, jangan hanya rakyatnya saja disalahkan terus. Setiap wilayah kan berbeda-beda kebiasaannya, jadi kita menyampaikan tolong itu diperhatikan juga agar masyarakat desa memiliki sertifikat tanah," pinta Imron
Politisi Fraksi Partai Gerindra ini menambahkan, memang masyarakat Madura, terutama di wilayah pegunungan banyak yang tidak mau turun ke kota atau kabupaten. Karena banyak dari mereka bekerja menjadi petani dan peternak. Kalau dia meninggalkan kebun atau ternaknya, nanti panennya tidak maksimal atau bahkan rusak.
"Namanya demi masyarakat, kita coba mengalah sedikit. Tadi Kepala Kanwil BPN Jatim mengatakan, pihaknya telah bekerja sama dengan Bupati dan Dispenduk. Menurut saya sudah menjadi suatu hal yang bagus, cuma coba kita lihat sejauh mana terobosan apakah dia hanya wait and see atau bagaiamana," ungkapnya
Selain itu, Legislator Dapil Jatim ini mengatakan, dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) ada kendala dilapangan terkait iuran pra sertifikat senilai Rp 150 ribu untuk setiap bidang tanah. Bagi mereka yang tidak mampu, hal ini justru memberatkan, apalagi jika mereka memiliki lebih dari satu bidang tanah.
"Kalau saya pikir, jika orang tidak mampu, beri keringanan saja. Apalagi jika seandainya mereka memiliki 10 bidang tanah, tapi dia hanya mampu membayar cuma 3, lantas 7 nya lagi bagaimana, masa harus dijual tanahnya. Karena yang saya khawatirkan jika seandainya tanah masyarakat ini tidak disertifikat, bisa-bisa ukuran luas tanahnya berkurang, atau bahkan tanah itu bisa disertifikat oleh orang lain," jelasnya.
Menurut politisi dapil Jawa Timur XI ini, kasus di masyarakat saat ini masih ada yang kepemilikan tanahnya bersertifikat ganda. Ketika sertifikatnya ganda, antara pemilik dan pembeli yang dirugikan, dimana mereka harus ke pengadilan dan pada akhirnya mereka yang urus sendiri.
"Selama ini, ketika muncul double sertifikat, penyelesaiannya disuruh kepengadilan pertanahan, BPN dalam hal ini seolah lepas tanggung jawab. Itu kan kasian juga masyarakat. Lantas BPN bagaimana pertanggung jawabannya, sertifikat bisa keluar dua, orang yang bersengketa akhirnya mesti ngeluarin duit lagi di persidangan," tutupnya. (jk/es)