Anggota DPR Minta Permasalahan PMI Diselesaikan
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI, Senin (27/01/2020). Foto : Jaka/Man
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menanyakan perubahan fundamental tata kelola perlindungan PMI berdasarkan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). Ia juga meminta Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) serta penguatan peran Atase Ketenagakerjaan yang berada di beberapa wilayah penepatan PMI agar permasalahan yang kerap mendera PMI dapat segera diselesaikan.
Hal tersebut disampaikannya saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI dengan Kementerian Ketenagakerjaan RI, Atase Ketenagakerjaan RI di Malaysia, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (BINAPENTA dan PKK), di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI, Senin (27/1).
“Human trafacking dan pungutan liar (pungli) merupakan masalah yang erat kaitannya dengan Pekerja Migran Indonesia. Bagaimanakah peran BP2MI dan Atase Ketenagakerjaan dalam memberikan perlindungan kepada mereka (PMI) terhadap masalah ini? Kami berharap tidak ada lagi perdagangan manusia berkedok pengiriman PMI, tidak ada lagi Pungli atau sebagainya setelah lahirnya UU 18/2017,” ungkap Netty.
Netty juga meminta agar tidak ada lagi dualisme di pemerintahan dalam mengelola PMI, yang perlu dilakukan adalah penguatan peran Atase Ketenagakerjaan. “Karena mereka (rakyat) tidak mengerti birokrasi. Yang mereka butuhkan adalah mendapatkan akses, kemudahan, mendapat pekerjaan sekaligus perlindungan. Untuk itu, peran Atase Ketenagakerjaan perlu diperkuat baik SDM maupun Anggarannya, dalam melakukan mekanisme perlindungan kepada PMI,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Netty, pembekalan kepada PMI sebelum berangkat juga perlu dilakukan. Bukan saja pembekalan terkait keterampilan tetapi juga mengenai kondisi sosial, budaya, serta komunikasi lintas budaya yang perlu dipahami oleh PMI.
“Saat ini PMI mencapai 9 juta jiwa. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi, lainnya hanyalah lulusan SD dan SMP. Berdasarkan data dari Kemenaker, PMI lulusan SMP ada 36 persen dan lulusan SD sejumlah 34 persen. Bukan hanya pelatihan keterampilan, PMI juga harus diberi pemahaman terkait kondisi sosial budaya serta komunikasi lintas budaya. Itu juga menentukan keselamatan, selama mereka (PMI) bekerja di negara tujuan,” ungkap politisi Fraksi PKS ini.
Pada kesempatan yang sama, Plt Kepala BP2MI, Tata Budi Radjak menyampaikan, terjadi perubahan fundamental mengenai tata cara kelola Perlindungan PMI berdasakan UU No. 18/2017. Pendekatan yang digunakan oleh BP2MI menggunakan pendekatan substansi kawasan sesuai Perpres No. 90 Tahun 2019 tentang Perlindungan PMI
"Program kegiatan BP2MI, di bawah koordinasi Kemnaker diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan PMI beserta keluarga dan dijadikan aset negara melalui peningkatan penempatan PMI yang terampil dan profesional. Penguatan peran Atase Ketenagakerjaan harus berubah secara fundamental. Atase Ketenagakerjaan harus memiliki kompetensi sebagai berikut, Image Builder, Opportunity Seekers, Intelegent Analysis," katanya,
Sementara itu, Dirjen BINAPENTA Kemnaker meyatakan bahwa Atase Ketenagakerjaan sebagai salah satu wujud kehadiran negara terutama dalam hal penanganan Pekerja Migran Indonesia (PMI). (rnm/es)