BPN JABAR DIMINTA INVENTARISIR TANAH HGU
19-01-2009 /
KOMISI II
Komisi II DPR RI meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Barat untuk menginventarisasi tanah-tanah Hak Guna Usaha (HGU) di seluruh Provinsi Jabar dan segera menyerahkan daftar inventarisasi itu kepada Komisi II.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI H. Eka Santosa (F-PDIP) di depan jajaran Kanwil BPN Provinsi dan Kepala Kantor BPN se Provinsi Jawa Barat, baru baru ini.
Menurut Eka, dari hasil temuan Komisi II di berbagai daerah menunjukkan bahwa banyak sekali tanah HGU yang sudah berakhir masa HGU nya. Tanah tersebut akhirnya banyak yang terlantar tanpa dimanfaatkan yang akhirnya terbengkalai begitu saja.
Selain menginventarisir tanah HGU yang bermasalah, BPN Jabar juga diminta untuk menginventarisir seluruh tanah HGU yang akan habis masanya. “Kita berharap Jabar sebagai pionir untuk memulai menginventarisir tanah HGU, setelah itu, kita berharap provinsi lain dapat segera menyusul untuk menginventarisir tanah-tanah didaerahnya,†kata Eka.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Komisi II Sayuti Asyathri (F-PAN) menegaskan bahwa banyak tanah HGU yang dipakai untuk pinjaman Bank, dipakai sebagai agunan, sehingga banyak tanah yang terlantar.
Padahal, kata Sayuti, banyak masyarakat yang ingin memanfaatkan sebagai lahan pertanian untuk menambah pendapatan mereka. “Mereka ingin mengembangkan pertanian, tetapi tanah-tanah yang berpotensi untuk pertanian masih dikuasai oleh HGU yang tidak jelas siapa pemiliknya,†kata Sayuti.
Mumpung sekarang sudah berakhir kita minta BPN segera mengeluarkan Pakta Integritas dari pemilik HGU yang sudah berakhir dan tanah HGU mana saja yang sudah berakhir. Dalam proses pemberian ijin, sebaiknya BPN juga harus berkonsultasi dengan pemerintah daerah agar tahu siapa mereka yang memang berhak dalam soal-soal tersebut.
Sekarang ini, kata Sayuti, banayk puluhan hektar tanah yang menganggur dan terbengkalai, namun rakyat miskin tidak dapat memanfaatkan. Padahal sejalan dengan program reforma agraria, seharusnya ada pemenuhan tanah kepada rakyat miskin. Untuk itu kita berharap HGU yang sudah habis itu dapat dipakai betul-betul untuk rakyat miskin.
Karena itu, data-data tentang tanah HGU yang sudah berakhir dan yang akan berakhir sangat diperlukan, dalam membuat data ini tentunya BPN perlu bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten.
Perlu dingat, kata Sayuti, BPN-BPN baik kabupaten maupun provinsi diberbagai daerah nampaknya kurang mempunyai hubungan yang baik dengan pemerintah daerah, sehingga banyak informasi yang tidak terbuka kepada pemerintah daerah. Dan ketika Pemda mengembangkan daerahnya dengan menggunakan lahan-lahan tersebut mereka terganjal dengan status dari tanah-tanah tersebut.
Sayuti menginformasikan, menurut data resmi peta wilayah provinsi Jawa Barat berdasarkan posisi kordinat dan elevasinya yang teridentifikasi baru 55 persen. Dalam hal ini ada 45 persen lahan di Jawa Barat yang tidak ketahuan letak kordinatnya.
“Jadi bagaimana pemerintah daerah bisa membuat perencanaan pembangunan negara kalau tempat dimana pembangunan itu diselenggarakan tidak jelas koordinat dan elevasinya,†kata Sayuti.
Perlu Terobosan
Pada kesempatan yang sama Eka Santosa mengatakan, untuk menangani masalah sengketa tanah yang cukup tinggi di Jabar diperlukan suatu terobosan-terobosan. Karena kalau tidak dilakukan terobosan sulit menyelesaikan kasus-kasus yang ada.
Banyak kasus tanah di Jabar tidak bisa hanya diselesaikan di Kanwil Provinsi Jabar saja, tapi perlu berkoordinasi dengan BPN pusat dan lintas sektoral lainnya.
Menurut Kakanwil BPN Provinsi Jabar Bambang Trisuryo Binantoro ada 715 kasus tanah, dengan rincian sengketa 149 kasus, konflik 33 kasus dan perkara 533 kasus. Kasus tanah yang sudah diselesaikan sejumlah kurang lebih 272 kasus yang selesai dengan operasi tuntas sejumlah 149 kasus, dan sisanya selesai di luar BPN atau ditangani pengadilan.
Hambatan yang dihadapi BPN dalam menyelesaikan sengketa tanah pada umumnya ditimbulkan dari tanah-tanah perkebunan dan kehutanan dengan masyarakat dimana BPN sulit menyelesaikan sendiri konflik tersebut tanpa melibatkan instansi-instansi terkait dan diperlukannya perjanjian kerjasama antara BPN dengan instansi dimaksud.
Selain itu, perangkat peraturan perundang-undangan pertanahan belum lengkap dan masih terdapat peraturan yang belum sesuai dengan dinamika masyarakat. (tt)