'Rapid Test' Masih Diperlukan
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena. Foto : Jaka/Man
Komisi IX DPR RI menilai rapid test di Indonesia masih dibutuhkan karena alat test polymerase chain reaction (PCR) dan Tes Cepat Molekuler (TCM) jumlahnya belum mencukupi untuk kebutuhan penanganan virus Corona. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua Komisi IX DPR RI menyusul permintaan dari pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono agar pemerintah menghentikan rapid test.
"Semua berjalan paralel, rapid test dengan akurasi yang baik. Sesuai rekomendasi Kemenkes (Kementerian Kesehatan) PCR atau TCM yang lebih akurat dibanding rapid test. Kita masih butuh waktu, jikalau alat PCR dan TCM sudah tersedia dengan jumlah cukup di se-antero negeri, maka penggunaan rapid test pelan-pelan dikurangi bahkan disetop," kata politisi yang akrab disapa Melki itu melalui siaran persnya kepada Parlementaria, baru baru ini.
Melki mengatakan, selama pengujian dengan PCR atau TCM belum mencukupi di Indonesia, maka rapid test masih bermanfaat dalam kondisi new normal. Menurut dia, pemerintah seharusnya meningkatkan penggunaan PCR dan TCM untuk menangani pencegahan serta pelacakan pada pasien dengan kasus positif.
Legislator Fraksi Partai Golkar itu menyebutkan, penggunaan alat rapid test dan PCR produksi dalam negeri yang sudah lolos uji harus diprioritaskan untuk dipakai secara massal dengan harga yang relatif lebih terjangkau. Selain membantu dalam bidang kesehatan, menurutnya juga akan mendongkrak perekonomian Indonesia. "Berguna dalam aspek kesehatan sekaligus membantu memutar roda ekonomi dalam negeri dalam penanganan Covid-19," katanya.
Diketahui, beberapa waktu lalu, pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, rapid test yang marak dilakukan pemerintah daerah di tengah wabah virus Corona (COVID-19) mesti dihentikan secepatnya karena sangat tidak akurat.
"Hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan. Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa terinfeksi," kata dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) ini. (rnm/es)