Penyerbuan Oknum TNI ke Mako Polsek Ciracas Perlu Dikaji Mendalam
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin. Foto : Oji/mr
Anggota Komisi I DPR RI Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin mengungkapkan rasa keprihatinannya atas penyerbuan yang dilakukan puluhan oknum TNI AD ke Markas Polsek Ciracas, Jakarta Timur, Sabtu (29/8/2020). Menurutnya, kasus perkelahian TNI vs Polri ini, sudah sangat di luar batas lantaran dibarengi dengan aksi perusakan terhadap aset negara.
“Perbuatan penyerbuan, merusak dan membakar aset negara, benar benar memprihatinkan dan memalukan,” kata politisi PDI-Perjuangan ini dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Senin (31/8/2020). Ia mengakui, di masanya ketika masih menjadi anggota TNI bukan tidak ada perkelahian, tetapi lebih banyak dilakukan duel satu lawan satu yang menurutnya lebih jantan dan lebih pribadi, jarang melibatkan satuan.
“Fenomena seperti ini kan menimbulkan pertanyaan, sekarang kenapa? Ada apa? Perlu kajian mendalam dan solusi tingkat nasional," kata Hasanuddin. Banyak orang berpendapat masalah ini dipicu soal kesenjangan kesejahteraan, namun Hasanuddin memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, soal gaji, tunjangan keluarga, tunjangan kesehatan bahkan tunjangan kinerja sudah sama dengan aturan perundang undangan.
Semua, kata dia, sudah diatur dalam APBN, artinya hak yang diterima anggota TNI dan Polri relatif sama. Tak ada perbedaan. “Kalau penghasilan tambahan? Ya pasti berbeda, tapi perbedaan itu bukan pada strata organisasi, tapi pada strata perorangan. Dan ini lumrah saja. Perwira atau Bintara di TNI ada yang hidupnya cukup bahkan kaya, tapi ada juga yang hidupnya pas-pasan. Dan ini tak perlu menjadi alasan kecemburuan sosial," bebernya.
“Jadi kesimpulan saya, penghasilan yang diberikan negara itu relatif sama. Tak bisa dijadikan alasan membenarkan kecemburuan dan lalu marah membabi buta,” kritik Hasanuddin. Meski begitu, ia mengakui bahwa kecemburuan antara dua institusi ini memang ada, yang berasal dari pembagian peran, tugas dan fungsi masing-masing atau sejak ABRI berubah menjadi TNI.
“Menurut hemat saya, perlu pemahaman mendasar dan diterima dengan baik oleh siapapun, bahwa zaman sudah berubah. Tuntutan demokrasi ya seperti ini, peran TNI dimanapun di dunia sangat berbeda dengan peran polisi," tutur legislator dapil Jawa Barat IX itu.
Ia menambahkan, karena beda fungsi, lalu beda peluang. Peluang yang berbeda, di sini penyebabnya. Perbedaan itu, kata Hasanuddin, membuat kecemburuan sosial yang kemudian memunculkan perasaan sensitif dan mudah marah, dan kemarahan bisa terjadi dimana saja ketika muncul gesekan sekecil apapun. “Persoalannya, dengan tupoksi yang berbeda apakah harus punya kesempatan yang sama? Tentu tidak, harus ditemukan solusi komprehensif yang mengacu pada aturan perundang undangan,” usulnya.
"Misalnya saja, perlunya kesadaran dari seluruh prajurit TNI bahwa peran TNI dan Polri di era demokrasi ini berbeda. Perbedaan itu karena kebutuhan dan keadaan zaman, dan harus diterima dengan ikhlas," ungkapnya. Akan tetapi, imbuh Hasanuddin, negara juga perlu memperhatikan bahwa TNI itu adalah warga negara biasa, tapi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berisiko tinggi.
Sehingga, kata Hasanuddin, tidak dapat disamakan dengan ASN lainnya dalam sistem penggajiannya terutama penghitungan tunjangan kinerjanya. “Ini mungkin yang harus diperhatikan negara,” tukasnya sembari menambahkan, menyangkut tindakan anggota militer, sebaiknya mulai dipikirkan yang mana sebagai pelanggaran pidana militer dan mana yang menjadi pelanggaran pidana umum.
Hasanuddin menambahkan, pelanggaran pidana umum bagi militer sudah saatnya dibawa ke pengadilan umum seperti masyarakat lainnya, sementara pelanggaran pidana militer diselesaikan dengan hukum militer, sesuai dengan pasal 65 UU Nomor 34 tahun 2004. "Tindakan KSAD dalam memberikan sanksi tentunya sudah terukur sesuai dengan aturan yang ada saat ini. Tindakan mana yang berat dan ringan pasti sudah diperhitungkan," tandas Anggota Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) itu. (ann/sf)