Pemerintah Harus Segera Buka Akses Pembiayaan Bagi Masyarakat Pengelola Lahan
Anggota Komisi XI DPR RI Bertu Merlas' Foto: Arief/Man
Anggota Komisi XI DPR RI Bertu Merlas mendesak pemerintah untuk membuka akses pendanaan bagi masyarakat yang hendak mengelola lahan kawasan hutan di daerah. Sebab pada tahun ini, pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atau Indonesian Environment Fund (IEF) akan mulai menerima berbagai dana dari lembaga internasional untuk tujuan perbaikan lingkungan hidup.
Menurut politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) itu, lahan perhutanan selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat secara sendiri-sendiri. Hal ini akibat dari kurangnya perhatian dari pihak pemerintah, ataupun dari pihak swasta yang bekerja sama dengan pemerintah. Bertu pun mencontohkan sejumlah kasus yang terjadi pada kawasan perhutanan di Sumatera Selatan.
"Banyak kawasan, terutama di Sumsel, yang sekarang sudah habis menjadi kebun sawit, dan sebagainya. Ini seperti tidak ada sentuhan sama sekali dari pemerintah. Penyebabnya, kadang-kadang masyarakat yang memiliki hak kelola, mereka kesulitan dalam hal pembiayaan," ungkap Bertu dalam rapat dengar pendapat Komisi XI DPR RI dengan BLU BPDLH yang berlangsung secara virtual, Senin (21/6/2021).
Tidak bisa diagunkannya lahan perhutanan menjadi faktor utama penyebab terhambatnya pembiayaan. Selama ini agunan hanya bisa dilakukan pada tanaman hutan. Padahal secara fidusia, atau secara hak kepemilikannya, sudah dialihkan kepada pihak perbankan. Imbasnya, masyarakat yang memegang hak pengelola hutan tanaman rakyat (HTR) dan perusahaan kecil pengelola hutan tanaman industri (HTI) acapkali mengalami kesulitan.
"Sementara (pengusaha) yang kecil-kecil dengan lahan dibawah 600 hektar kesulitan mencari pembiayaan. Apalagi masyarakat yang mempunyai hak kelola HTR. Untuk itu, saya berharap kepada BPDLH untuk segera memberi jalan keluar kepada masyarakat dan perusahaan kecil, sehingga kawasan hutan dapat dimanfaatkan dan diberdayakan," tutur legislator asal daerah pemilihan Sumsel II itu.
Hadir secara virtual, Direktur Utama BPDLH Djoko Hendratto menjelaskan bahwa sebagai upaya pemerintah untuk pendanaan lingkungan hidup, BPLDH dibentuk pada 2019. Badan ini merupakan Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan yang berperan sebagai custodian atau trustee bagi program-program pengelolaan lingkungan hidup strategis yang berada di Kementerian/Lembaga.
"Mekanisme atau tata kelola dari penerima dana, mandatnya tidak saja dari donor, tetapi dari K/L terkait untuk disesuaikan dengan keputusan pemerintah bersama DPR. Pemanfaatannya harus sesuai dengan grand desain pemerintah dalam menyelesaikan persoalan lingkungan dinegara ini," jelas Djoko dalam video conference-nya.
Lebih lanjut dijelaskan, BPLDH sejatinya telah membuat standar operasional prosedur (SOP) bersama dengan Kementerian/Lembaga terkait penyaluran dana yang diperuntukan untuk lingkungan tersebut. "Dalam SOP ditentukan kira-kira bagaimana masyarakat, baik individu maupun kelompok, ketika akan mengakses dana itu mereka diminta membuat proposal atau dibantu kelompok yang sudah memahami," urainya.
Sebagai informasi, BPLDH tercatat belum pernah menerima penyertaan modal negara (PMN). Rencananya, sumber dana akan berasal dari berbagai bantuan lembaga internasional dengan tujuan perbaikan lingkungan hidup. Pertama, Green Climate Fund (GCF) yang melalui mekanisme performance based payment dengan total 103 juta dolar AS yang rencana penyaluran awalnya pada tahun 2021.
Sumber dana kedua berasal dari REDD+ Norwegia dengan jumlah 560 juta dolar AS dengan skema result based payment. Dalam program ini, sebanyak 56 juta dolar AS telah diberikan melalui rekening bank kustodian di BNI yang telah ditunjuk pada Desember 2020. Ketiga, Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dengan jumlah 110 juta dolar AS yang diberikan bertahap dalam empat tahun hingga 2025.
Perlu diketahui bahwa kucuran dana akan tetap mengalir jika pemerintah dan pelaksana proyek mampu mencapai target pengurangan emisi karbon yang diharapkan. Sumber dana keempat, dari BioCarbon Fund (BCF) sebesar 60 juta dolar AS untuk peningkatan kualitas lingkungan hidup di Jambi hingga 2025. Lima, Bank Dunia (World Bank) dengan anggaran 2 juta dolar AS, serta Ford Foundation sebesar 1 juta dolar AS. (alw/sf)