Komisi III Pertanyakan SK Pengetatan Remisi Menkumham
Beberapa anggota Komisi III DPR RI menilai surat Menkumham tentang pengetatan remisi bagi narapidana koruptor dan terorisme janggal dan bertentangan dengan UU No 12 tahun 1999 tentang Pemasyarakatan serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Hal ini mengemuka dalam Rapat Kerja Komisi III dengan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (7/12/11).
“Apa betul surat edaran moratorium remisi itu bermula dari perintah Wakil Menteri dan hanya secara lisan lewat telpon. Harusnya untuk mencabut SK menteri sebelumnya (Patrialis Akbar) yang menyetujui pemberian remisi harus dibuat SK menteri baru, bukan pernyataan lisan,” tanya anggota Komisi III dari FPDIP Trimedya Panjaitan.
Sementara itu anggota Komisi III Ahmand Yani mempertanyakan SK menteri yang baru keluar pada tanggal 16 November, sedangkan surat edaran PLH Dirjan Pemasyarakatan (Dirjen PAS) yang memerintahkan pembatalan remisi sudah berlaku sejak tanggal 31 Oktober. “Ini negeri hukum, negeri ini tidak bisa berdasarkan perintah lisan, apa negeri ini kerajaan? Kalau tidak setuju, nggak usah ada remisi. Kalau mau hukuman mati koruptor kita setuju, asal dirubah dulu undang-undangnya. Kalau merujuk PP 28 tahun 2006, moratorium ini pengetatan model mana lagi?" tanya politisi dari FP3 ini.
Ia menekankan DPR mengkritisi kebijakan moratorium yang diubah menjadi pengetatan remisi bagi koruptor dan teroris semata-mata karena landasan hukumnya tidak jelas. “Saya menolak keras kalau ada yang menilai sikap kita dukungan terhadap koruptor. Kita mengingatkan kebijakan ini bisa masuk kategori pelanggaran terhadap UU,” lanjutnya. Bagi Yani jalan satu-satunya bagi pemerintah saat ini adalah segera menormalkan kembali suasana ini merujuk peraturan yang sudah ada. Deskrisi boleh saja dilakukan sepanjang ia tidak diatur jelas oleh ketentuan perundang-undangan. Kalau semua aturan sudah jelas, maka deskresi tidak berlaku.
Anggota Komisi III dari FPKS Aboe Bakar Alhabsy menyebut surat edaran Dirjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM bisa dinilai diskriminatif karena pengetatan remisi berlaku menjelang pelaksanaan Natal yang dirayakan umat kristiani. Hal senada juga disampaikan Herman Hery dari FPDIP. "Sembilan puluh persen napi di NTT, tidak akan dapat remisi Natal. Orang Kristen dan Katolik di NTT akan bilang apa? Kenapa dihilangkan remisi Natal. Tidak boleh menyingung yang begini. Menteri harus minta maaf dan cabut," cetus Hery.
Namun pembelaan datang dari Ruhut Sitompul anggota Komisi III dari FPD yang menyebut pengetatan remisi ini bukan untuk Umat Kristiani tetapi bagi koruptor. “Kebijakan menteri tidak salah karena kita tahu rakyat miskin karena ulah koruptor. Jadi saya tegaskan koruptor jangan dikasi ampun. Bagi saya yang Kristen, ini tidak ada masalah,” tandasnya.
Dalam penjelasannya Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menyebut kebijakan pengetatan remisi tidak bermuatan politik dan bukan pula ajang mencari popularitas. Mantan advokat ini menambahkan keputusan dilandasi aturan perundang-undangan yakni UU No 12 tahun 1999 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal 14 ayat 2 menjelaskan bahwa pengaturan bagaimana mengatur remisi, pembebasan bersyarat dan lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
"Karena itu lahir PP yang semula PP 32 tahun 1999 diubah menjadi PP 28 tahun 2006. Kemudian kalau ada pertanyaan ukuran rasa keadilan, itu tidak semata datang seakan aspirasi yang jatuh dari langit itu sudah diatur dalam PP 28 tahun 2006 maupun pasal 36 ayat 6 yang bicara tentang rasa keadilan. PP 28 tahun 2006 mengatur pemberlakukan khusus bagaimana memperlakukan warga binaan di lapas menjalani masa pembinaan secara khusus," katanya.
Ia juga mengakui surat edaran Dirjen Pemasyarakatan berasal dari perintah lisan wakil menteri dan pada saat itu belum didukung keputusan Menteri. Namun ditekankannya perintah melalui telepon itu sudah dibicarakan sebelumnya. Terkait perbedaan penafsiran terhadap kebijakan yang dibuatnya Menkumham mempersilahkan pihak-pihak yang merasa keberatan mengujinya di PTUN. “Saya tidak claim penafsiran saya paling benar, kebijakan Bapak Ibu tidak benar. Perlu forum yang sah untuk menguji SK tersebut. Apapun yang keluar dari pengujian SK itu saya tidak akan banding, saya akan laksanakan,” demikian Amir Syamsudin. (iky)