Komisi V Minta Masukan BANI dan BNSP Terkait UU Jasa Konstruksi
Komisi V DPR RI meminta masukan-masukan dari beberapa stakeholders terkait dengan pembahasan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK).
Rencana Perubahan RUU ini sebetulnya juga sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2011. Namun karena belum selesai, RUU ini akhirnya diluncurkan lagi pada Prolegnas RUU Prioritas 2012.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi V H. Mulyadi saat memimpin rapat dengan Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Arbitration Nasional Indonesia (BANI), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Kamis (19/1) di gedung DPR.
Mulyadi mengatakan, masukan-masukan dari stakeholders yang terkait dengan UU ini tentunya sangat diharapkan untuk penyempurnaan UU dimaksud.
Karena UU ini merupakan luncuran dari Tahun 2010, jadi ini merupakan “PR” Komisi V untuk segera menyelesaikannya.
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian PU Bambang Goeritno mengatakan, UU Jasa Konstruksi ini memang sudah perlu dilakukan revisi, karena jika UU ini dievaluasi selama satu dasawarsa arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi belum jelas dan belum dilengkapi dengan perangkat evaluasi yang terstruktur.
Selain itu, sertifikasi isu sentral, prosesnya masih beragam dan belum menjadi quality assurance dalam perwujudan struktur usaha yang diharapkan.
Jenis perkerjaan (ASMET) tidak kompatibel dengan lapangan usaha nasional maupun internasional dan sertikat profesi bersifat sebagai lisensi (ijin kerja), padahal penerbitannya dilakukan bukan oleh Pemerintah.
Bambang mengatakan, isu-isu strategis berkenaan dengan UU ini adalah adanya perubahan kebijakan nasional (regulasi) yang terkait jasa konstruksi (UU No. 23/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU 20/2003 tentang Sisdiknas) serta implementasi liberalisasi perdagangan jasa konstruksi (import maupun ekspor jasa konstruksi)
Dari sisi internal, isu yang berkembang adalah kualitas pengaturan dalam UUJK kurang memadai serta pengaturan dalam UUJK tidak mampu lagi merespon perkembangan yang terjadi.
Tujuan pengaturan penyelenggaraan konstruksi agar pelaku konstruksi memiliki kapasitas kompetensi dan daya saing, proses konstruksi efisien, produktif, kreatif inovatif dan berkeadilan serta hasil konstruksi berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan.
Sementara wakil dari Bani menyoroti isi Pasal 36 dan 37 masalah penyelesaian sengketa jasa konstruksi.
Menurutnya, harus lebih serius memasukkan masalah sengketa jasa konstruksi ini mengingat semakin banyaknya kasus yang berkembang di bidang jasa konstruksi.
Wakil Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi Sumarna F. Andurahman mengatakan masalah yang terjadi terkait dengan sertifikasi profesi adalah adanya kesenjangan antara kualitas yang dimiliki tenaga kerja/SDM dengan yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri.
Kesenjangan ini, kata Sumarna, menimbulkan dua akibat yakni terjadinya pengangguran dan rendahnya produktifitas. Kesenjangan tersebut terjadi terutama karena sistem diklat yang bersifat “supply driven” dan tidak berbasis pada kompetensi kerja. Selain itu, tidak adanya sistem diklat yang terpadu secara nasional.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian YLKI Sudaryatno mengatakan, yang terpenting dari perubahan UU ini adalah kasus kegagalan konstruksi hendaknya menjadi pelajaran berharga dan agar dapat dimasukkan dalam RUU ini. (tt)