Ratifikasi Perjanjian RCEP harus Menguntungkan Indonesia
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina. Foto: Oji/nvl
Perjanjian perdagangan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) telah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan. Terkait hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina mengatakan, perjanjian internasional tersebut telah disetujui oleh 15 negara dimana 10 negara dari Asean termasuk Indonesia. Perjanjian yang telah di tandatangani pada 15 November 2020 lalu, merupakan perjanjian yang sangat lengkap dan komprehensif dengan ketebalan 14.367 halaman
“Komitmen masing-masing anggota RCEP diantaranya terkait akses pasar Barang, Jasa, Investasi, dan Pergerakan Manusia (Goods, Services, Investment dan Movement of Natural Persons/MNP). Perjanjian ini jangan sampai berdampak buruk pada pelaku usaha dalam negeri terutama pelaku usaha UMKM," tutur Nevi dalam siaran persnya kepada Parlementaria, Rabu (3/11/2021).
Politisi PKS ini mengingatkan, agar setiap perjanjian dagang internasional, jangan sampai Indonesia hanya menjadi obyek pasar saja. Dengan adanya perjanjian internasional seperti ini, dapat berdampak pada arus barang yang masuk dari luar negeri. Kondisi ini akan menimbulkan persaingan yang sangat ketat bagi pelaku UMKM dalam negeri. "Saya minta, Pemerintah harus menyiapkan regulasi serta program peningkatan kapasitas UMKM, agar para pelaku UMKM dalam negeri bisa unggul di negeri sendiri," tegasnya.
Nevi mengampaikan, pada tahun 2019, Indonesia melalui Kementerian Keuangan mengkaji dampak RCEP bagi perekonomian Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa dampak RCEP terhadap peningkatan produk domestik bruto (PDB) Indonesia selama periode 2021-2032 hanya 0,05 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang akan didapatkan oleh negara RCEP lainnya, seperti Vietnam 0,66 persen, Korea 0,51 persen, Malaysia 0,35 persen dan Thailand 0,21 persen.
Namun, sambung legislator dapil Sumatera Barat II itu, tidak ada pilihan bagi Indonesia selain tetap bergabung di RCEP dan melakukan upaya penyesuaian struktural untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing, karena berdasarkan kajian Kementerian Keuangan apabila Indonesia memilih untuk berada di luar RCEP dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB) menjadi minus 0,07 persen.
"Saya mendorong kepada pemerintah, agar ada peningkatan laju PDB dari hanya 0,05 persen agar tidak terlalu timpang dibanding negara RCEP lainnya. Perlu ada Instrumen kebijakan yang tepat untuk menjadi regulasi yang dapat di eksekusi agar perjanjian internasional ini selalu dapat menguntungkan negara kita," tutupnya. (dep/sf)