UU 19 Tahun 2004 Perlu Ditelaah Kembali
Anggota Komisi V DPR RI Bahrum Daido (F-PD) mengatakan, perlunya ditelaah kembali UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan sebagai Pengganti Penetapan Pengaturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sebab jika UU ini tidak dilakukan telaah Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Perhutanan Sosial, tidak akan berhasil menangani permasalahan banjir.
Demikian disampaikan Bahrum saat rapat dengar pendapat Komisi V DPR dengan Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Perhutanan Sosial (BPDASPS) dan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan, Senin (27/2) yang dipimpin Wakil Ketua Komisi V DPR Nusyirwan Sujono.
Komisi V DPR mengundang jajaran dari Kementerian Kehutanan untuk mendapatkan masukan-masukan terkait dengan upaya penanggulangan banjir dan tanah longsor dengan konsepsi pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Bahrum mengatakan, hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran sungai fungsinya sudah semakin berkurang. Hal ini salah satunya disebabkan kerusakan lingkungan yang sangat luar biasa, termasuk kondisi hutan yang sangat memprihatinkan.
Untuk mempertahankan catchment area ini tentunya perlu dukungan yang kuat dari para Bupati yang berhak melindungi hutan lindung, TNI/POLRI yang menjaga keamanan dan ketertiban dan juga harus didukung oleh Dirjen PHKA dan Dirjen Penataan Ruang.
Namun sayangnya kondisi di lapangan sungguh jauh berbeda. Bahrum melihat sistem regulasi yang ada seperti UU 19/2004 mengecualikan sembilan penambang diperbolehkan untuk membabat kurang lebih 1 juta hutan lindung.
“Jika ini dibiarkan maka Dirjen DAS tidak akan berhasil menangani permasalahan banjir,” katanya.
Bahrum juga mempertanyakan hutan lindung yang dapat diubah menjadi hutan produksi atau hutan konservasi dan penggunaannya untuk Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
“Saya bingung kenapa bisa diubah, bisa dijadikan HPL apa dasarnya. Kalau HPL bisa digunakan apa saja berarti program yang dikemukakan Dirjen BPDASPS percuma nggak ada gunanya tetap akan banjir,” kata Bahrum.
Sementara anggota dari fraksi yang sama H. Acmad Syafi’i sependapat, faktor yang paling dominan terjadinya banjir karena kerusakan lingkungan yang sangat luar biasa termasuk kerusakan hutan,
Dalam hal ini Syafi’i meminta penjelasan kondisi terkini tingkat kerusakan dan upaya perbaikannya wilayah resapan dan tampungan air yang ada di hulu sungai yang merupakan wilayah kewenangan dari Kementerian Kehutanan.
Syafi’i juga menanyakan sejauhmana koordinasi Dirjen BPDASPS dan Dirjen PHKA dengan Kementerian Pekerjaan Umum khususnya Dirjen Sumber Daya Air yang sama-sama memiliki UPT atau Balai sampai pada tingkat daerah atau provinsi.
Pada kesempatan tersebut, Dirjen BPDASPS Harry Santoso mengatakan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB) dalam laporannya menyebutkan bahwa tahun 2011 terjadi 1.598 bencana alam di negeri ini, dan lebih dari 70 persennya adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, banjir bandang, puting beliung dan gelombang pasang.
Bencana banjir dan tanah longsor, salah satunya disebabkan oleh ketidaksiapan pemerintah daerah setempat dalam mengantisipasi kejadian banjir dan tanah longsor , karena kurang atau tidak adanya informasi mengenai lokasi yang rawan dan waktu kemungkinan kejadian bencana banjir dan tanah longsor tersebut di wilayahnya.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor.
Dalam upaya meningkatkan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, kata Harry, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Dengan demikian bila ada bencana banjir dan tanah longsor, pengendaliannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.
Harry menambahkan, proses penanganan bencana banjir dan tanah longsor pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga bagian yakni sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana dan pasca terjadi bencana.
Pengendalian banjir dan tanah longsor dengan konsepsi pengelolaan DAS ini lebih diutamakan pada kejadian sebelum terjadi bencana. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka Dirjen BPDASPS melalui Unit Pelaksana Teknis Balai pengelolaan DAS di daerah mengembangkan aplikasi Sistem Standar Operasi Prosedure Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor.
Selain itu, maka pengendalian banjir dan tanah longsor dengan konsepsi pengelolaan DAS dapat juga dilakukan dengan kegiatan dan upaya pengelolaan DAS secara terpadu yang meliputi kegiatan penatagunaan lahan, optimalisasi penggunaan lahan, pengelolaan lahan dan vegetasi, penerapan kaidah konservasi tanah dan air serta pengembangan kelembagaan dan pemberdayaan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tambahnya, maka diperlukan keterpaduan dari seluruh multipihak yang berkepentingan dalam pengelolaan DAS. (tt)