Komisi VII Minta PLN Tolak Utang Diboncengi Kepentingan Kontraktor Asing
PT. PLN sebagai perusahaan milik negara harus mempunyai sikap yang tegas dan jelas dalam membangun kerjasama pada program pinjaman seperti Soft Loan Agreement – SLA dengan negara lain. Dalam beberapa kasus ditemukan pinjaman lunak tersebut diboncengi kepentingan dari perusahaan/kontraktor negara pendonor.
“Kalau era Orde Baru jelas-jelas pinjaman itu satu paket, uangnya, jasa pelaksana, berasal dari negara bersangkutan jadi kita dalam posisi lemah, tidak bisa mengontrol efisiensi dan efektifitas penggunaan pinjaman. Itu tugas kita DPR memperbaiki itu,” kata Totok Daryanto Ketua Tim Kunjungan Lapangan Komisi VII DPR RI saat meninjau PLTGU Keramasan di Palembang, Sumsel, Jumat (2/3/12).
Ia mengaku terkejut ketika mendapat informasi tender proyek PLTGU Keramasan yang didukung pinjaman lunak dari JICA Jepang senilai Rp.380 miliar dimenangkan Marubeni Co. kontraktor yang juga berasal dari negara matahari terbit itu. Politisi PAN ini menekankan setiap proyek yang dibiayai donor asing harus sebesar mungkin diberdayakan untuk kepentingan ekonomi nasional, termasuk memberi kesempatan kepada perusahaan dalam negeri. “Jangan sampai pinjaman ini hanya menjadi beban masa depan bagi anak cucu kita,” tandasnya.
Anggota Komisi VII Asfihani menyampaikan rasa kecewa karena jajaran pimpinan PLN dalam rapat usai peninjauan lapangan, tidak dapat memperlihatkan data-data pendukung yang lengkap. “Kita tidak mau tanda tangan persetujuan terus dan mungkin hutang tidak perlu sebesar itu. Proses ini tidak transparan, loan dari Jepang kontraktor juga dari Jepang, saya minta penjelasan lengkap tertulis sebelum tanggal 7 ini,” tandasnya.
Politisi Partai Demokrat ini meminta PLN menjelaskan kenapa satu perusahaan dalam negeri yang cukup berpengalaman PT. Medco dikalahkan dalam proses prakualifikasi. Ia menekankan langkah yang dilakukan DPR ini jangan dianggab sebagai intervensi, tetapi upaya membangun transparansi dan kehati-hatian karena anggaran dari negara donor bukan hibah, jadi harus dikembalikan dengan uang rakyat.
Sementara itu anggota Komisi VII dari FPDIP Nazarudin Kiemas mempertanyakan kebijakan PT. PLN yang banyak membangun pembangkit listrik kapasitas kecil seperti PLTGU Keramasan yang hanya memiliki daya 80 MW. Sumsel menurutnya jelas memiliki sumber daya cukup untuk pengembangan kelistrikan dengan daya yang lebih besar.
“Policy kedepan patut dikoreksi jangan yang kecil-kecil lagi, di Sumsel gas banyak, batu bara banyak. Kenapa tidak 500 MW atau 4x1000 MW. Wilayah Lahat itu batu bara-nya luar biasa, dari pada diekspor semua ngapain,” tandas politisi dari dapil Sumsel ini.
Menurutnya pembangkit kapasitas besar harga jual listriknya bisa ditekan lebih murah dan ini akan dapat membantu masyarakat. Ia memaparkan kunjungannya ke Cina meninjau keberhasilan negara tersebut membangun sumber daya listrik. Provinsi Guangzhou saat ini sudah memiliki kapasitas 47000 MW sedangkan Sumsel yang kaya energi baru 42000 MW. Bhutan yang hanya berpenduduk 2 juta jiwa berhasil mencapai 32000 MW sebagian dijual ke negara tetangga India.
Menjawab hal ini Kepala Divisi Konstruksi PT. PLN Eko Sudartanto yang bicara didampingi jajaran pimpinan PLTGU Keramasan menjelaskan memang ada keinginan kontraktor asing mendatangkan seluruh peralatan dari luar. Namun peraturan perusahaan pelat merah ini cukup tegas, produk dalam negeri harus menjadi prioritas. “Misalnya kontraktor menyebut mendatangkan turbin satu set, kita minta itu dipecah sehingga perusahaan dalam negeri bisa kebagian kue,” imbuhnya.
Dalam pelaksanaan proyek di Keramasan ia meminta kontraktor asal Jepang menggunakan standar spesifikasi yang berlaku di dunia. Basic design pembangkit juga tidak bisa ditetapkan sendiri oleh perusahaan asal Jepang tersebut, tetapi harus lewat mekanisme persetujuan PT. PLN. Targetnya Unit I PLTGU diharapkan sudah dapat berproduksi pada akhir Desember 2013. Proyeksinya listrik yang dihasilkan dapat mendukung rencana pembangunan Pelabuhan Internasional di Bagan Siapi-api. (iky)