Ketentuan DMO Semen Minta Diubah, Diah Nurwitasari: Masalah Bukan pada Aturan
Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari dalam RDP Komisi VII DPR RI bersama Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM RI dan Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (25/1/2022). Foto: Munchen/Man
Pengusaha semen atau industri semen sebelumnya meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengubah ketentuan suplai batu bara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) dari yang saat ini 25 persen menjadi 30-35 persen. Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari menilai, inti masalah terkait DMO tersebut menurutnya bukan karena aturan. Namun, bagaimana aturan tersebut ditegakkan, kontrol, dan termasuk sanksi kepada mereka yang tidak memenuhi DMO tersebut.
“Apakah kemudian ditegakkan untuk persoalan (tidak memenuhi DMO) tersebut?” tanya diah dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI bersama Direktorat Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM RI dan Ketua Umum Asosiasi Semen Indonesia, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (25/1/2022).
Selain itu, dirinya menilai bahwa permasalahan tersebut kemungkinan ada kaitannya dengan izin pada kondisi over supply. Menurutnya, kondisi tersebut perlu diperhatikan untuk menghindari tumpang tindih secara kewilayahan. “Tentang izin ya, izin pembangunan perusahaan-perusahaan semen yang baru. Di mana saya kira saya sepakat tentang pentingnya moratorium, kita perlu perhatikan kembali,” terang Diah.
Terlebih lagi, lanjut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, pembangunan pabrik semen juga mengancam lingkungan hidup. Ancaman pada lingkungan hidup tersebut bukan sekadar emisi karbon, tetapi juga lainnya seperti sebagaimana halnya pembangunan pabrik semen di Kalimantan Timur. “Data dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) yang saya dapatkan, pembangunan dilakukan di kawasan yang dilindungi. Bahkan juga mengancam ekosistem lingkungan,” lanjut Diah.
Oleh karena itu, Diah sangat menyoroti kondisi pertambangan saat ini. Khususnya, bagaimana agar pertambangan tidak hanya mengeruk keuntungan dari sumber-sumber tambang yang ada, tetapi juga memperhatikan ekosistem. Terlebih, Kalimantan bukan sekadar hutan miliki Indonesia ya, tapi juga jantung dunia yang bertempat di daerah hutan tropis.
“Karena untuk apa kita melakukan tambang, untuk apa kita jual semen gitu ya, ya untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungannya untuk apa? Keuntungannya untuk kehidupan masyarakat. Lah kalau keuntungannya untuk kehidupan masyarakat luas, lalu ekosistemnya juga dirusak, ya yang rugi adalah masyarakat itu sendiri. Apalagi masyarakat yang berada di sekitar tambang,” tegas Diah.
Oleh sebab itu, dirinya berharap persoalan lingkungan hidup ini juga diperhatikan betul oleh perusahaan semen, terlebih lagi tadi bagi perusahaan semen yang membangun di Kalimantan Timur. Di akhir, rangka memanfaatkan oversupply terhadap Semen ini, ia menanyakan apakah ada kemungkinan untuk dilakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan kontraktor yang mendapatkan pekerjaannya di luar negeri.
“Jadi kontraktor pribumi kita yang dapet project di luar negeri, mengambil supplynya dari Indonesia. Kan kontraktor luar kalau mengerjakan di Indonesia seringkali membawa bahan baku dari negaranya,” imbuh legislator dapil Jawa Barat II tersebut. Menurutnya, jika memang ternyata secara cost dan lain-lain itu memungkinkan, ekspor yang nanti dilakukan dapat dimanfaatkan oleh perusahaan kontraktor Indonesia lainnya, sehingga oversupply ini dapat dimanfaatkan dengan baik. (hal/sf)