Kecewa Tidak ada Satupun Pejabat Eselon I Hadir
Komisi VII DPR mengaku kecewa terhadap pejabat eselon I dari Kementerian ESDM yang tidak hadir saat kunjungan kerja (kunker) ke Papua Barat.
Menurut Satya, karena banyak permasalahan yang bermuara kepada Kementerian ESDM khususnya terkait dengan masalah harga gas domestik dimana harga gas domestik itu ditentukan oleh pemerintah, maka kehadiran pejabat eselon I sangat penting dalam kunjungan kali ini.
“Jadi banyak keterkaitan kunjungan kali ini dengan kehadiran pejabat eselon I,” kata Satya Widya Yudha saat pertemuan dengan PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero) yang dipimpin Milton Pakpahan dalam rangka kunker Komisi VII DPR ke Provinsi Papua Barat, Senin (16/4).
Menurutnya, ini permasalahan serius, kebetulan saya anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR jadi tahu persis bagaimana kita mendiskusikan masalah subsidi listrik.
Dia menambahkan, dirinya menginginkan di dalam setiap kunker komisi ini pejabat eselon I Kementerian ESDM ikut serta. “Karena ini menyangkut masalah policy, masalah bagaimana kita secara nasional bisa mengurangi subsidi tersebut dengan berbagai macam pendekatan dan strategi,” jelasnya.
Mengenai prioritas, lanjutnya, PLN harus fokus dan memprioritaskan eksis power yang ada di LNG Tangguh itu sebesar 5 MW yang menggunakan kabel dibawah laut.
“Inikan perlu ada suatu kebijakan dari kementerian teknis dalam hal ini adalah Kementerian ESDM. Jadi sangat disayangkan tidak ikutnya pejabat eselon I dari Kementerian ESDM dalam kunker Komisi VII ke Provinsi Papua Barat ini,” tuturnya.
Kunker komisi itu sama bobotnya dengan rapat-rapat di DPR, kata Satya seraya menambahkan hanya tidak dilakukan di gedung DPR sehingga pejabat-pejabat terkait itu harus betul-betul pada level yang benar, paling tidak pejabat eselon I dari kementerian harus mendampingi dalam kunker komisi.
“Ini sudah kejadian yang kedua kalinya di NTT dan di Papua Barat sekarang ini,” tambahnya.
Terkait dengan masalah matinya lampu PLN yang ada di Papua Barat, Satya mengatakan, hal itukan menyangkut ketersediaan supply. Kalau misalkan gas yang dipakai ataupun juga batubara yang dipakai saya yakin itu bisa diatasi.
“Tapi kalau pengembangan listrik itu tidak dipenuhi dengan semua kebutuhan energi primer yang ada muncullah adanya mati lampu yang akhirnya pemerintah melalui PLN mengantisipasi dengan membeli genset, yang akhirnya juga dia harus membayar lebih besar,” ujarnya
Jadi permasalahan listrik yang ada di Papua Barat bukan permasalahan yang sederhana. Di dalam rapat RAPBN-P subsidi yang paling besar itu adalah subsidi listrik sebesar Rp 89,3 triliyun, itu pun dengan asumsi adanya kenaikan 3 persen setiap 3 bulan.
Didalam program PLN ini tentunya harus berkaca kepada program PLN secara nasional. Apa kontribusi daripada PLN yang ada di wilayah Papua Barat ini terhadap pengurangan subsidi tersebut.
Disini sebetulnya kenapa kita perlu pejabat eselon I Kementerian ESDM, karena ini adalah makro yang diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan teknis dibawah. Itu yang menjadi pengamatan kita, jelasnya.
Satya berharap kedepan ini pemerintah lebih serius di dalam rangka mendampingi kunker komisi DPR RI sehingga pola komunikasi yang baik akan dicapai bentuk keputusan publik atau kebijakan-kebijakan publik yang akan diambil secara bersama-sama.(iw)/foto:iwan armanias/parle.