PT Inalum Diminta Tidak Gunakan Insentif APBN untuk Dapatkan Biaya Listrik Murah PLN

21-12-2022 / KOMISI VI
Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Sitorus saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi VI DPR RI dengan PT Inalum di Sumatera Utara, Minggu (18/12/22). Foto: Ubed/nr

 

Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Sitorus Diminta agar PT Inalum tidak menggunakan APBN sebagai insentif dalam rangka untuk mendapatkan pembiayaan listrik berbiaya murah dari PLN. Sebab, menurutnya, hal itu akan mengurangi pos anggaran belanja negara di bidang lain yang lebih penting. Karena itu, ia meminta agar PT Inalum dapat menyiasatinya dengan membuat teknologi produksi yang lebih efisien.

 

Salah satu kebutuhan energi listrik yang besar PT Inalum dari PLN adalah untuk industri smelter. "Memang industri smelter ini memerlukan energi dan memiliki kompetisi yang tinggi. Setahu saya, cost structure dari keseluruhan berkisar 30-60 persen. Jadi cukup besar (kebutuhan listrik). Sehingga mereka (PT Inalum) sangat membutuhkan sumber energi yang berbiaya murah," ungkap Deddy saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi VI DPR RI dengan PT Inalum di Sumatera Utara, Minggu (18/12/22).

 

Sebagai langkah pengembangan, kebutuhan listrik PT Inalum mencapai 1 Gigawatt (GW). Kebutuhan tersebut tidak bisa dipenuhi hanya melalui pembangkit listrik yang dimiliki PLN, yaitu PLTA Sigura-gura. Berdasarkan pemaparan Direktur Operasi dan Portofolio PT Inalum, saat ini PT Inalum tengah mencoba menjalin kerjasama dengan PT PLN untuk dapat memberikan bantuan aliran listrik.

 

Namun, hal tersebut masih terkendala dengan belum adanya kesepakatan tarif dari kedua belah pihak karena adanya Undang-Undang Ketenagalistrikan serta Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tarif listrik. Hal tersebut yang mendorong PT Inalum meminta dukungan pemerintah dan DPR untuk melakukan diskresi dalam memberikan insentif.


Melihat hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI John Erizal menawarkan solusi untuk melakukan blending antara PT Inalum dan PT PLN. Ia mengungkapkan agar kerjasama tersebut dalam bentuk Business to Business (B to B) dengan pembagian profit dilakukan di akhir setelah hasil produksi terjual. Ia menilai pendekatan ini lebih realistis karena apabila diberikan insentif, nantinya perusahaan lain akan mengikuti.


"Masalahnya nanti PLN pasti meminta PMN kepada kami, tapi itu lebih make sense daripada mengubah peraturan," ungkap politisi PAN tersebut. (uf/rdn)

BERITA TERKAIT
Asep Wahyuwijaya Sepakat Perampingan BUMN Demi Bangun Iklim Bisnis Produktif
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir berencana akan melakukan rasionalisasi BUMN pada tahun 2025. Salah...
147 Aset Senilai Rp3,32 T Raib, Komisi VI Segera Panggil Pimpinan ID FOOD
09-01-2025 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan raibnya 147 aset BUMN ID Food senilai Rp3,32 triliun. Menanggapi laporan tersebut,...
Herman Khaeron: Kebijakan Kenaikan PPN Difokuskan untuk Barang Mewah dan Pro-Rakyat
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan mulai berlaku per 1 Januari 2025. Keputusan ini...
Herman Khaeron: Kebijakan PPN 12 Persen Harus Sejalan dengan Perlindungan Masyarakat Rentan
24-12-2024 / KOMISI VI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron menyoroti pentingnya keberimbangan dalam implementasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai...