Relokasi Warga Syiah Sampang Bukan Solusi
Aparat kepolisian diminta meningkatkan pengamanan di wilayah Sampang, Madura untuk mewujudkan kamtibmas dan menjaga kemungkinan terjadinya kerusuhan lanjutan. Pilihan relokasi bagi warga penganut Syiah jelas bukan pilihan karena bagaimanapun mereka adalah warga negara yang memiliki hak untuk tinggal dimanapun di wilayah NKRI.
“Saya sepakat dengan Kapolri dan Kapolda ini bukan persoalan agama bukan pula mazhab tetapi masalah percintaan. Relokasi bukan jalan penyelesaian, walaupun bagaimana mereka adalah warga negara. Fakta dilapangan menurut Kapolda tidak ada persoalan dalam bentuk ibadah, sosial kemanusiaan. Jadi kepolisian harus bisa mengatasi masalah keamanan, menambah jumlah personil,” kata anggota Komisi III Ahmad Yani dalam rapat kerja dengan Kapolri di Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (3/9/12).
Ia mengakui dari hasil kunjungan lapangan Komisi III medan kerja di Sampang termasuk berat, untuk menuju ke lokasi harus berjalan kaki sejauh 17 km selama hampir 3 jam. Politisi Fraksi P3 ini memberikan apresiasi kepada kepolisian karena berhasil meredam kekerasan dan korban jiwa. “Dalam kasus Sampang kepolisian kalah cepat dengan media. Media mem-blow up sedemikian rupa, padahal korban jiwa lebih sedikit 1 orang, dibandingkan korban arus mudik yang begitu besar 908 jiwa,” lanjutnya.
Anggota Komisi III Bambang Soesatyo meminta kepolisian mengevaluasi kinerja aparat intelejen. Ia mendapat informasi isu akan terjadinya kerusuhan Sampang sudah beredar sebelum lebaran. Tidak optimalnya pengendusan aparat menurutnya bisa disebabkan 3 hal yaitu lemah dalam hal pendeteksian, laporan intelijen sudah baik tapi dibuang ke tempat sampah atau intelejen hanya fokus melaksanakan tugas pada tujuan tertentu.
Sebelumnya Kapolda Jawa Timur Irjen Polisi Hadiatmoko memaparkan kisruh disampang dipicu perselisihan 2 saudara yang juga pimpinan pondok pesantren, ustad Tajul Muluk dan Rois Alhukuma. “Rois ini menaksir muridnya Ustad Tajul yang bernama Halimah. Tetapi oleh Tajul malah dikawinkan dengan orang lain. Rois marah, ia keluar dari Syiah dan dendam cinta ini yang memicu pertikaian berkepanjangan,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan publik jangan membayangkan perseteruan 2 pesantren ini seperti besarnya Gontor di Jawa Timur. Pesantren ustad Tajul ini hanya berukuran 4x6 meter. Diluar perseteruan dua saudara ini sebenarnya penganut Syiah dan Sunni di Sampang hidup rukun. Kapolda dalam rapat tersebut memperlihatkan foto penganut kepercayaan berbeda ini sedang shalat di satu mesjid yang sama. “Iini foto tahun 2011, yang tangannya lurus kebawah itu Syiah disampingnya yang tangan dilipat itu Sunni.”
Kapolri Jendral Polisi Timur Pradopo menyebut upaya petugas dilapangan dalam mengatasi kerusuhan di Sampang sudah optimal. “20 anggota Polsek bisa berkumpul setelah lebaran sudah maksimal. Korban 1 orang padahal semua bawa clurit. Dari pihak kami, Kapolsek pun terluka, kalau anggota tidak berhasil mengendalikan emosi tentu akan lain lagi ceritanya,” kata dia.
Terkait penanganan kerusuhan di beberapa tempat di daerah, Raker Komisi III yang dipimpin Gede Pasek Suardika mendesak Kapolri dalam menangani konflik horizontal dan ganggungan keamanan dan ketertiban masyarakat lainnya agar bertindak secara tegas, profesional, proporsional dan mengedepankan pendekatan humanis.
Komisi III DPR RI juga mendesak Kapolri untuk memperhatikan perencanaan dan penataan pembangunan sarana dan prasarana keamanan Polri dengan memfokuskan pada tingkat Polsek dan Polres dengan memperhatikan tempat, waktu dan potensi gangguan keamanan yang ada. “Misalnya potensi konflik di Sampang sementara markas Brimob dibangun di Pamekasan ini kan tidak tepat,” demikian Suardika.(iky)/foto:iwan armanias/parle.