Komisi IX DPR RI Soroti Pelaksanaan Jamkesmas
Anggota Komisi IX DPR RI menyoroti berbagai persoalan yang terjadi pada pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dalam rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (17/9)
Arif Minardi (F-PKS) saat diberi kesempatan pertama bertanya oleh Pimpinan Rapat Ketua Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning, meminta komitmen Menteri Kesehatan untuk menyelesaikan berbagai kasus yang terjadi dalam pelaksanaan program Jamkesmas.
“Selain masih banyak farkir miskin yang tidak masuk dalam Jamkesmas dan Jamkesda, tagihan biaya rumah sakit banyak yang belum terbayar oleh pemerintah daerah karena kesulitan dana,” ujar Arif.
Anita Jacoba (F-PD) mempertanyakan kebijakan Kementerian Kesehatan mengenai pengadaan obat formularium bagi masyarakat miskin. Menurutnya anggaran untuk obat formularium ada, namun obat tersebut tidak pernah ada di rumah sakit.
“Tidak tersedianya obat formularium di rumah sakit akhirnya mengakibatkan dokter membuatkan resep obat di luar formularium dan akhirnya pasien miskin diharuskan membeli obat, bahkan kadang dokter mengancam apabila tidak membeli obat tersebut di apotik tertentu bahwa pasien akan meninggal dunia. Keluarga pasien miskin menghadapi hal demikian selalu ketakutan akhirnya dengan berbagai cara membeli obat tersebut,” papar Anita.
Menurutnya hal tersebut sering terjadi di lapangan padahal anggaran untuk pengadaan obat tersebut ada. Sementara jika dirinya bertanya pada Menteri Kesehatan selalu dijawab bahwa obat formularium itu bukan urusan Kemehterian Kesehatan tapi menjadi urusan rumah sakit.
Endang Agustini Syarwan Hamid (F-PG) meminta Kementerian Kesehatan membuat standar baku pelayanan kesehatan dalam persiapan menuju pelaksanaan BPJS. Dirinya menilai pelayanan terburuk berada di Puskesmas sebagai lini terdepan pada pelayanan kesehatan masyarakat miskin.
Sementara Rieke Diah Pitaloka (F-PDIP) menyatakan permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan Jamkesmas bukan persoalan besar kecilnya anggaran bagi penerima bantuan iuran.
Menurutnya yang sekarang terjadi adalah persoalan tentang mekanisme rujukan, persoalan system yang macet, persoalan pendataan, persoalan verifikasi yang macet dan sangat birokatif.
“Yang dihadapi bukan persoalan teknis pemasaran tapi ini persoalan orang sakit. Ketika orang datang ke rumah sakit kemudian dia harus ada rujukan dulu ke puskesmas, sedangkan dokter puskesmasnya harus dicari dulu. Berapa kasus yang terjadi seperti ini,” jelas Rieke.
“Oleh karena itu kita harus punya kesepakatan bersama bahwa persoalan anggaran dalam BPJS itu penting, tetapi persoalan membangun system, mekanisme dan asilitas harus menjadi prioritas,” imbuhnya. (sc)foto:wy/parle