Komisi VII DPR Setujui Kenaikan Tarif Listrik, PDIP Berikan Catatan

19-09-2012 / KOMISI VII

Komisi VII DPR dapat menyetujui usulan pemerintah mengenai subsidi sektor kelistirkan Rp78,63 triliun dengan penyesuaian tarif tenaga listrik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan rasio elektrivikasi serta tidak membebani kepada rakyat kecil yaitu para pelanggan listrik 450 Va dan 900 va.

Demikian salah salah satu butir kesimpulan Raker Komisi VII dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dipimpin Ketua Sutan Bathoegana, di Gedung DPR RI, Senin (17/9)

Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Daryatmo Mardianto, menegaskan, fraksinya belum dapat menerima usulan yang disampaikan oleh pemerintah. Karenanya, Fraksi PDI Perjuangan memberikan catatan.“Pertama, menunda kenaikan tarif tenaga listrik," kata Daryatmo.

Catatan kedua, adalah menindaklanjuti rekomendasi Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (HP BPK) nomor 30/AuditamaVII/PDTT/09/2011 atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu sektor hulu listrik pada PT PLN Persero, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Kementerian ESDM.

Ketiga, mengusulkan judulnya adalah kenaikan tarif tenaga listrik bukan penyesuaian sejalan dengan nota keuangan APBN. Keempat, definisi subsidi disesuaikan peraturan 162/PMK.02/2007 tertanggal 17 Desember 2007. Kelima materi yang disampaikan Frkasi PDI Perjuangan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam keputusan atau kesimpulan raker hari ini dan diikutsertakan dalam pembahasan RUU APBN TA 2013.

Catatan Fraksi PDI Perjuangan di DPR, ini sempat menjadi perdebatan hingga akhirnya disetujui dalam lampiran kesimpulan. Catatan tersebut akan menjadi perhatian, juga dari Badan Anggaran DPR RI ketika melakukan pembahasan. “Karena disitu kita benar-benar ingin melakukan pekerjaan yang sifatnya paralel,” jelasnya

Secara terpisah, Daryatmo menjelaskan pemerintah kan mengajukan proposal melalui nota keuangan dan kemudain dilanjutkan, ditindak lanjuti oleh menteri ESDM komisi VII yang intinya adalah proposalnya mengajukan kenaikan TDL, tarif tenaga listrik sebesar rata-rata 15% dalam tahun APBN 2013, tahun anggaran 2013. “Dipaparkan tentang formulasi dan rumus ataupun rencana-rencana yang dilakukan pemerintah,” paparnya

Menurut Daryatmo, Kami (F-PDIP) mensikapinya, adalah memulai dari soal Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu sektor hulu listrik pada PT PLN Persero, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Kementerian ESDM, berdasarkan atas Permintaan Komisi VII DPR.

Setelah dipelajari, hasil yang diberikan pada tahun 2011, intinya yang akan dipelajari ada dua hal, yang pertama adalah menyangkut soal PLN sebagai korporasi. Sebagai korporasi, sebagai BUMN yang memperoleh tugas juga melakukan pendistribusian listrik dengan subsidiKedua adalah soal posisi kementrian ESDM terhadap kebijakan kelistrikan nasional.

Daryatmo mencermati bahwa dari hasil audit itu, bahwa ada ketidakmampuan melakukan penghematan oleh PLN sejumlah Rp.37 Triliun rupiah pada Tahun 2009 dan 2010. Menurutnya hal ini disebabkan karena PLN tetap menggunakan solar, tidak menggunakan gas. “Audit itu, laporan hasil itu adalah menyangkut 8 pembangkit listrik yang penyalaannya ganda, dual failing. Jadi ada saluran , ini bisa solar, ini bisa gas. Tinggal saklar saja ya, jadi masuk gas, saklar kesini, masuk solar  saklar kesini, gitu,” ungkapnya.

Dia menjelaskan sebenarnya komisi VII sudah sangat mendorong agar penggunaan gas dilakukan. Dengan cara itu, ada penghematan sekitar Rp.37 Triliun. Jika dibandingkan dengan perkiraan perolehan PLN apabila mengalami kenaikan sebesar Rp. 12-14 Triliun. Jadi angkanya sebetulnya sangat berbeda jauh. “Ini yang menjadi dorongan buat kita agar mempertimbangkan untuk, kalo gitu sebenarnya tidak dengan melakukan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL), tetapi dengan melakukan penghematan dan penggunaan gas, itu masih ada selisih, malahan berlebih, dan itu akan dapat digunakan untuk lainnya,” jelas Daryatmo.

Selain itu, dia memaparkan bahwa yang kita inginkan kalo kita berbicara hasil retifikasi berbicara tentang melistriki dan sebagainya, itu sebenarnya tidak hanya bisa dilakukan semata-mata oleh PLN, tapi sebenarnya adalah kebijakan pada tingkat negara, karena PLN hanya mengurusi jaringan.  Dan ini hanya jaringan, kabel-kabel, lalu hanya terdapat  umumnya di pulau-pulau besar, pulau-pulau utama, ataupun daerah-daerah yang menarik jaringannya cukup efisien dengan pendekatan keekonomian. Sedangkan pada daerah-daerah terpencil umumnya dilakukan dengan  mandiri oleh masyarakat atau ada kebijakan lain, seperti tenaga surya, tenaga angin, tenaga mikrohidro, air, air besar, air kecil dan sebagainya. “Dan itu sebenarnya lalu seolah-olah lepas dari PLN. Nah lalu dari sini kami tanyakan. Lho sebetulnya pada tingkat kebijakan negara, tanggung jawab negara dalam pemerintahan mewakili negara dimana?,” kritiknya.

Daryatmo menuding, sebenarnya ini kebijakan korporasi itu akibat ketidakmampuan melakukan penghematan maupun pelaksanaan korporasi lainnya. “Apakah itu juga menjadi kebijakan negara? Kita ingin mempertanyakan kebijakannya PLN adalah kebijakan Negara, ya, karena kebijakan korporasi. Kalau seperti itu kan harus dipertanyakan, kalau nggak dibalik, Apakah kebijakan negara itu diwakili oleh PLN atau undang-undang listrik, kan tidak juga. Apa gunanya Dirjen kelistrikan, apa gunanya Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konserfasi Energy (EBTKI)?,” geramnya.

Menurutnya, berarti memang harus kebijakan negara, hasil retifikasi itu. jangan sampai ketidakmampuan penghematan akibat beberapa hal kesulitannya kemudian diadopsi oleh negara dan kemudian dibebankan oleh masyarakat pelanggan.

Menegaskan harus dilakukan pemisahan, antara ini penertiban pelanggan, kategorisasi pelanggan, dan sebagainya itu di klarifikasi, ditertibkan. Lalu pada satu sisi dilakukan penghematan oleh PLN, lalu dilakukan kebijakan negara yang sebaik-baiknya, karena listrik merupakan hajat hidup orang banyak. Itulah yang Daryatmo dan Fraksi P-PDIP  sehingga mengusulkan menunda kenaikan tarif tenaga listrik, sambil melakukan pelaksanaan rekomendasi dari BPK tersebut.

Kesiapan Gas

Dalam raker ini, Komisi VII DPR meminta raker dengan Kementerian ESDM, terkait agenda alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri (pembangkit listrik, sektor industri, konversi BBM ke gas, lifting minyak) selambat-lambatnya dilaksanakan sebelum APBN tahun anggaran 2013 ditetapkan.

komisi VII pernah menelusuri ini dari berbagai pertemuan, pada waktu itu sampai kita mengundang BP MIGAS, badan pengelola sektor hulu migas untuk menanyakan dan rupanya mereka siap dengan penyediaan gas. Dan kemudian PLN mengatakan pada periode lalu siap membeli gas. Namun tidak terlaksana. Buktinya adalah, dari paparan pemerintah yang menyangkut soal bauran energi. “Nampak sekali kontribusi gas persentasenya justru menurun,” ungkap Daryatmo.

Dia mengira ada tendensi karena bukti indikasi yang kuat, bahwa menggunakan solar menjadi pegangan utamanya. Sedangkan Indonesia memiliki gas yang cukup banyak, Justru banyak di ekspor. (as)

BERITA TERKAIT
Program MBG Diluncurkan: Semua Diundang Berpartisipasi
06-01-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Badan Gizi Nasional dijadwalkan akan meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hari ini, Senin, 6 Januari 2025....
Komisi VII: Kebijakan Penghapusan Utang 67 Ribu UMKM di Bank BUMN Perlu Hati-Hati
04-01-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay menyoroti rencana pemerintah yang akan menghapus utang 67 ribu...
Pemerintah Diminta Tingkatkan Daya Saing Produk UMKM dan Ekonomi Kreatif Indonesia
03-01-2025 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay mengungkapkan bahwa pemerintah saat ini dituntut untuk menata dan...
Dina Lorenza Dukung Kenaikan PPN: Harus Tetap Lindungi Masyarakat Menengah ke Bawah
24-12-2024 / KOMISI VII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI Dina Lorenza mendukung rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen...