Perlu Pemimpin Inovatif Atasi Berbagai Konflik
Untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai konflik yang terjadi di beberapa daerah, perlu seorang Pemimpian yang inovatif dan berani mengambil keputusan untuk menghadapi permasalahan yang urgent.
Tindakan preventif untuk mengatasi berbagai konflik tersebut salah satunya learn system dengan sensitivitas tinggi dari aparat yang ada di daerah.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR TB. Hasanuddin dalam acara Dialog Interaktif bersama Wakil Rakyat, Jum’at (2/11).
Hasanuddin mengatakan, learn system itu adalah bagaimana setiap pemimpin di daerah mau mendengar, mau turun ke problem yang paling panas sekalipun lalu dia membuat analisa untuk menyelesaikan masalah.
“Kalau seorang pemimpin harus selalu menunggu dari atas dalam mengambil keputusan sementara permasalahan di bawah sudah sangat urgent lalu bagaimana,” tanyanya.
Sebagai seorang pemimpin, dia tidak perlu takut dalam mengambil setiap keputusan asalkan keputusan itu benar, dan tidak boleh ada keberpihakan hanya kepentingan pribadi dan kelompok-kelompoknya.
Ketika seseorang terpilih menjadi Gubernur atau Bupati, maka dia sudah menjadi pemimpin bagi publik, pemimpin bagi siapapun, bukan lagi dia pemimpin bagi partainya atau kelompoknya.
Hasanuddin mengatakan, terkait dengan penanganan konflik di beberapa daerah, ini bukan merupakan kegagalan pemimpin dalam konteks perseorangan di dalam era otonomi daerah. Namun lebih dari itu, semua masalah seharusnya bisa dihabiskan, dan harus ada penguatan-penguatan leadership di daerah yang lebih kuat sehingga setiap masalah yang ada di daerah juga dihendel dan dicarikan solusi dengan kepemimpinan yang kuat.
Menghadapi berbagai konflik di daerah tersebut, leadership dan kepemimpinan di daerah harus diperkuat. “Jika sekarang dengan sistim mencari pemimpin saja dengan jalan kekerasan (Pilkada melalui pertempuran dan cara-cara kekerasan lainnya), saya kira pemimpin tersebut tidak akan mewujudkan pemimpin yang amanah,” katanya.
Setelah 30 tahun kepemimpinan disentralisasi Pusat, semua dikendalikan dari pusat dan semua dikontrol dari pusat, begitu era reformasi orang bebas melakukan apa saja. Namun kebebasan itu belum disertai dengan kesadaran, karena kebebasan itu harus diiringi dengan kesadaran.
“Kalau orang diberi kebebasan tapi tidak punya kesadaran, yang ada ujungnya anarkis. Tapi kalau orang diberi kebebasan tapi punya kesadaran, ujungnya demokrasi mencari solusi yang terbaik untuk sesama,” tambah Hasanuddin.
Hasanuddin melihat, sekarang ini semua didowngradekan turun ke bawah, namun kepemimpinan di daerah mungkin belum siap dan itu membutuhkan waktu.
Berbagai konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah memiliki latar belakang yang berbeda. Seperti, kasus di Lampung yang pemicunya hanya masalah sepele yaitu perkelahian karena cemburu dari sekelompok anak muda.
Selain itu juga karena sengketa tanah, sengketa kepentingan kekuasaan lewat kalahnya Pilkada, sengketa antar pemilik tanah dengan pemilik tanah atau barangkali pemilik modal dengan masyarakat setempat.
Kasus-kasus ini yang kemudian menggelinding menjadi sebuah pemicu yang kalau tidak segera dicarikan solusinya akan menjadi konflik yang berkepanjangan. Dalam hal ini, harus segera ada upaya-upaya yang signifikan.
Hasanuddin melihat secara sosial harus diakui kohesi secara nasional sudah mulai menurun drastis. Bisa jadi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam hal kerukunan sesama memang menurun.
Namun Hasanuddin optimis jika semua pemimpin formal baik gubernur, bupati, camat, kepala desa, kepolisian, tentara dan pemimpin non formal seperti para ulama, dan sebagainya bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka permasalahan di lapangan akan dapat diselesaikan dengan baik. (tt)