Perjanjian Internasional Harus Libatkan DPR RI
Anggota Komisi I DPR Ahmad Daeng Sere mengharapkan pemerintah lebih kritis mencermati perjanjian-perjanjian internasional antara Indonesia dengan negara-negara lain. Perjanjian internasional yang dilakukan pemerintah, sepatutnya juga melibatkan DPR.
“Dalam pembuatan Perjanjian Internasional, DPR akan memberikan masukan yang berpedoman pada kepentingan rakyat dan nasional,” kata Politisi Partai Persatuan Pembangunan, di Gedung DPR, Kamis (7/2).
Selain itu, setiap perjanjian internasional yang dilakukan pemerintah Indonesia harus menguntungkan Indonesia. Untuk itu, diperlukan pengawasan dan kajian mendalam sebelum dilakukannya suatu perjanjian antardua negara atau antar banyak negara. “Perjanjian Internasional harus mengutamakan kepentingan nasional,” tegasnya.
Patut diketahui, DPR RI telah menggunakan hak inisiatifnya untuk mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Tentang Perjanjian Internasional (RUU PI) sebagai pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang dirasakan masih belum cukup menampung kepentingan Indonesia dalam kaitannya dengan pembentukan hukum internasional, daya mengikatnya dan pemberlakuannya dalam sistem hukum nasional terkait dengan kepentingan nasional yang ada saat ini dan di masa yang akan datang.
Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Melda Kamil Ariadno, menerangkan definisi mengenai perjanjian internasional dalam RUU PI sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 1 maka perjanjian internasional yang dimaksud adalah perjanjian internasional tertulis yang dibuat berdasarkan hukum internasional (public international law) di bidang hukum publik baik antar Negara maupun antara Negara dengan subyek hukum internasional lainnya termasuk organisasi internasional.
Menurut Melda Kamil Ariadno, terkait Ketentuan yang termuat dalam pasal 24 dan 25 dimana Pemerintah memerlukan persetujuan DPR dalam membuat suatu perjanjian internasional dari mulai proses perencanaan ataupun tahap perundingan, merupakan salah satu cara untuk melaksanakan analisa implementasi.
Dia menjelaskan, sebelum Pemerintah menandatangani satu perjanjian internasional perlu dijawab dulu apakah perjanjian tersebut selaras dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika memang dibutuhkan untuk kepentingan nasional tetapi bertentangan dengan ketentuan hukum nasional maka perlu ada analisa ketentuan hukum mana yang harus disesuaikan untuk menjamin bahwa perjanjian internasional itu dapat dilaksanakan dalam wilayah nasional.
Dia mengatakan, DPR memiliki fungsi pengawasan terkait evaluasi implementasi Perjanjian tersebut. Namun perlu dipikirkan bagaimana proses perjanjian dapat berjalan agar tidak menghambat gerak langkah Pemerintah dalam mengikuti proses pembuatan perjanjian internasional yang diperlukan bagi kepentingan nasional.
Menurutnya, Kewajiban untuk meminta persetujuan kepada DPR dalam tahap perencanaan atau proses perundingan merupakan langkah yang baik. Akan tetapi harus dipastikan bahwa proses persetujuan tersebut dibuat se-sederhana mungkin untuk menghindari adanya hambatan dalam pembuatan perjanjian internasional, terutama jika itu merupakan perjanjian multilateral.
“Proses “fast track” dalam praktek Negara Amerika Serikat dapat dijadikan sebagai contoh,”terang Melda Kamil Ariadno.
Untuk konsultasi pada perjanjian internasional yang dibuat atas inisiatif pihak asing, lanjutnya, dapat dilakukan pada tahap perundingan karena jika pada tahap pengesahan akan terjadi kemungkinan DPR tidak mengesahkan perjanjian internasional tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan kepentingan nasional, yang tentunya akan merugikan nama baik Indonesia di mata masyarakat internasional. (as)foto:wy/parle